Akademisi Menilai Korupsi Mandek Dipengaruhi Faktor Politik Hingga Kapasitas APH

Konotasi.co.id -

Konotasi–Mandeknya sejumlah kasus korupsi terus menjadi sorotan sejumlah pihak. Penanganan kasus korupsi yang terkesan berlarut-larut berpotensi semakin menggerus kepercayaan publik terhadap komitmen penegak hukum.

Salah satu Akademisi Hukum, Rahman Syamsuddin menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi terdapat beberapa aspek yang harus dikaji guna mengurai lebih dalam terkait terjadinya stagnasi penanganan kasus korupsi oleh Aparat Penegak Hukum (APH).

Menurut Rahman, sapaan akrabnya, mandeknya penanganan kasus korupsi dapat terjadi dalam tiga tahap dalam proses penanganannya, yakni tahap penyelidikan dan penyidikan, tahap penuntutan, dan tahap peradilan dan eksekusi putusan.

Pertama, ditahap penyelidikan dan penyidikan sering terjadi stagnasi dalam kasus korupsi lantaran APH yang berwenang sering menghadapi kendala alat bukti, khususnya dalam kasus korupsi yang melibatkan modus kompleks seperti pencucian uang atau penggunaan pihak ketiga. Selain itu, intervensi dan tekanan dari pihak tertentu dapat menghambat proses penyelidikan.

Kedua, kata Doktor Ilmu Hukum itu, pada tahap penuntutan terjadi stagnasi karena jaksa sering menghadapi tantangan dalam pembuktian di pengadilan, utamanya dalam korupsi yang melibatkan kejahatan terorganisir.

“Kasus yang ditangani juga bisa dikategorukan sebagai perkara ringan sehingga kadang tidak diprioritas untuk segera di selesaikan,” kata Akademisi UIN Alauddin Makassar itu kepada Konotasi, Sabtu (8/3/2025).

Ketiga, terjadinya stagnasi pada tahap peradilan dan eksekusi putusan karena putusan pengadilan tidak menimbulkan efek jera serta penyitaan dan perampasan aset hasil korupsi masih menghadapi kendala hukum dan teknis.

Rahman juga menambahkan, terkait faktor penyebab terjadinya stagnasi dalam penanganan kasus korupsi lantaran kelemahan dalam pembukaan dan penggunaan alat bukti yang acap kali dinilai tidak cukup menjerat pelaku.

“Perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPK acap kali ditemukan perbedaan interpretasi antara lembaga auditor dan APH,” jelas dia.

Selain itu, lanjut Rahman, mandeknya kasus korupsi disebabkan karena adanya intervensi politik dan lemahnya independensi APH.

“Mandeknya penanganan kasus korupsi bukan hanya disebabkan oleh faktor teknis hukum, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor politik, kelemahan regulasi, dan keterbatasan APH,” sebutnya.

Bukan tanpa alasan, Rahman mengatakan, penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara bisa dikategorikan korupsi namun pada praktiknya pejabat sering mendapat perlindungan dari kelompok politik atau jaringan kekuasaan.

Dalam UU KPK pun, jelas Rahman, telah melemahkan independensi KPK dalam menangani kasus korupsi besar. Selain itu, aset hasil korupsi harus disita dan dikembalikan kepada negara tetapi implementasinya sering menemui hambatan.

“Banyak aset dialihkan ke pihak ketiga atau disembunyikan di luar negeri sehingga sulit ditelusuri dan dikembalikan. Olehnya itu perlu didukung dengan UU perampasan aset,” kata dia.

Olehnya itu, Wakil Dekan I Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar itu menyampaikan perlu langkah tegas dalam menyikapi stagnasi dalam penanganan kasus korupsi.

“Perlu penguatan penyelidikan dan penyidikan, artinya APH perlu maksimal dalam bekerja yang memungkinkan kerja sama dengan lembaga terkait serta penggunaan teknologi seperti forensik digital dan artificial intellegence dalam penelusuran transaksi keuangan,” jelasnya.

“Mendorong penerapan pasal 38 C UU Tipikor yang memungkinkan pembuktian terbalik terhadap tersangka korupsi agar membuktikan asal-usul hartanya, dan meningkatkan hukuman pidana dan perampasan aset agar menciptakan efek jera,” imbuhnya.

Dalam penanganan kasus korupsi yang mandek, Rahman pun berharap peran serta seluruh elemen masyarakat untuk memberantas korupsi dan berperan aktif serta memantik kepekaan terhadap kasus korupsi.

“Partisipasi akademisi dan masyarakat menjadi kunci untuk memastikan pemberantasan korupsi berjalan efektif sesuai amanat UU Tipikor. Negara pun harus menerima keterlibatan berbagai pihak demi penegakan supremasi hukum,” kuncinya.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *