“Buaya dalam Imajinasi Bugis-Makassar: Antara Mitos, Rasionalitas, dan Nilai Keislaman”

Penulis: Sultan
Opini–Di sepanjang sungai dan rawa-rawa Sulawesi Selatan, buaya bukan hanya sekadar predator yang menguasai perairan, tetapi juga entitas mistis yang hidup dalam imajinasi kolektif masyarakat Bugis-Makassar. Sejak dahulu, banyak yang percaya bahwa buaya adalah perwujudan leluhur, penjaga gaib, atau bahkan makhluk yang memiliki hubungan spiritual dengan manusia.
Kepercayaan ini telah berakar dalam tradisi lisan dan praktik budaya, diwariskan dari generasi ke generasi sebagai bentuk penghormatan terhadap alam. Namun, di era yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan pemahaman keagamaan yang lebih mendalam, apakah mitos ini masih relevan? Ataukah sudah saatnya kita mengendapkan rasionalitas dan menyesuaikan keyakinan dengan perkembangan zaman?
Mitos Buaya dalam Perspektif Kultural
Dalam kepercayaan Bugis-Makassar, ada berbagai narasi yang melekat pada buaya:
1. Buaya sebagai Jelmaan Leluhur
Banyak masyarakat percaya bahwa buaya tertentu merupakan inkarnasi leluhur atau orang yang memiliki hubungan khusus dengan dunia gaib. Oleh karena itu, membunuh atau mengusik buaya dianggap sebagai tindakan yang bisa mendatangkan malapetaka.
2. Ritual dan Sesajen
Beberapa komunitas masih melakukan ritual sesajen kepada buaya, dengan harapan memperoleh perlindungan atau menghindari bencana. Dalam tradisi tertentu, masyarakat bahkan memberikan nama khusus kepada buaya yang sering muncul di wilayah mereka.
3. Takhayul Sebagai Sarana Kontrol Sosial
Kepercayaan mistis terhadap buaya juga berfungsi sebagai mekanisme sosial untuk menjaga keharmonisan antara manusia dan alam. Mitos ini sering digunakan untuk mencegah perburuan liar atau eksploitasi lingkungan yang berlebihan.
Namun, di balik pesona mitologi ini, ada bahaya laten: kepercayaan yang tidak didasarkan pada logika dan ilmu pengetahuan dapat menghambat kemajuan masyarakat dalam memahami dan mengelola lingkungannya secara lebih baik.
Rasionalitas dan Sains: Buaya dalam Perspektif Modern
Dalam ranah ilmu pengetahuan, buaya adalah bagian dari ekosistem yang memiliki peran ekologis penting. Sebagai predator puncak, buaya membantu menjaga keseimbangan populasi hewan lain dalam ekosistem perairan. Namun, mitos yang berkembang sering kali menghalangi respons rasional terhadap konflik antara manusia dan buaya.
Ketika buaya masuk ke wilayah pemukiman, banyak masyarakat memilih untuk pasrah alih-alih mengambil langkah mitigasi yang tepat. Sementara itu, ada pula yang memanfaatkan mitos ini secara komersial—baik dalam bentuk jasa perdukunan maupun pemanfaatan simbol mistis buaya untuk kepentingan pribadi.
Ilmu pengetahuan memberikan kita pemahaman bahwa buaya bukanlah entitas gaib, melainkan spesies yang berevolusi selama jutaan tahun sebagai bagian dari alam. Dengan pendekatan ilmiah, kita dapat menemukan solusi yang lebih tepat dalam mengelola populasi buaya dan mencegah konflik dengan manusia.
Islam dan Dekonstruksi Mitos
Dalam Islam, segala bentuk keyakinan terhadap kekuatan selain Allah—terutama yang bersifat takhayul—perlu dikaji ulang dengan pendekatan tauhid dan rasionalitas. Islam menegaskan bahwa makhluk hidup, termasuk buaya, adalah ciptaan Allah yang tunduk pada hukum alam.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-A’raf: 191-192:
“Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) sesuatu yang tidak dapat menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan? Dan mereka tidak mampu memberikan pertolongan kepada mereka, dan kepada diri mereka sendiri pun mereka tidak dapat memberi pertolongan.”
Ayat ini memperjelas bahwa tidak ada makhluk yang memiliki kekuatan mistis di luar ketentuan Allah. Menjadikan buaya sebagai objek pemujaan atau mempercayai bahwa buaya memiliki kekuatan gaib bisa menjerumuskan pada kemusyrikan.
Islam juga menekankan pentingnya ikhtiar dan ilmu pengetahuan dalam menghadapi tantangan kehidupan. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang menginginkan dunia, maka hendaklah ia dengan ilmu, dan barang siapa yang menginginkan akhirat, maka hendaklah ia dengan ilmu, dan barang siapa yang menginginkan keduanya, maka hendaklah ia dengan ilmu.” (HR. Bukhari & Muslim)
Dengan demikian, daripada terjebak dalam kepercayaan mistik, masyarakat Bugis-Makassar perlu mengembangkan pendekatan yang lebih berbasis ilmu dan agama dalam memahami fenomena alam.
Menyadarkan Masyarakat: Langkah Menuju Transformasi
Agar kepercayaan mistik terhadap buaya tidak menjadi hambatan bagi perkembangan masyarakat, diperlukan langkah-langkah strategis, antara lain:
1. Edukasi Berbasis Budaya dan Ilmu
Alih-alih menentang kepercayaan secara frontal, lebih efektif untuk memberikan edukasi yang menghubungkan budaya dengan sains. Misalnya, menjelaskan bagaimana mitos buaya bisa dipahami sebagai bentuk penghormatan terhadap ekosistem, tetapi tidak harus diartikan secara harfiah.
2. Kampanye Kesadaran Lingkungan
Buaya adalah bagian penting dari lingkungan, dan upaya konservasi perlu dilakukan dengan pendekatan yang lebih rasional. Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa keberadaan buaya bukanlah kutukan atau pertanda mistis, tetapi bagian dari keseimbangan ekosistem yang harus dijaga.
3. Menghilangkan Eksploitasi Kepercayaan
Pihak-pihak yang memanfaatkan kepercayaan mistis untuk kepentingan pribadi perlu diberikan pemahaman agar tidak menyebarkan ketakutan yang tidak berdasar. Agama dan ilmu pengetahuan harus menjadi dasar dalam memahami hubungan manusia dengan makhluk hidup.
4. Pendekatan Islam dalam Dekonstruksi Mitos
Para pemuka agama perlu lebih aktif dalam meluruskan pemahaman masyarakat, mengingatkan bahwa segala bentuk kepercayaan yang tidak berdasar pada ajaran Islam bisa menjurus pada kemusyrikan. Islam tidak menolak budaya, tetapi menuntut agar budaya selalu disandingkan dengan kebenaran yang bersumber dari wahyu dan akal sehat.
Kesimpulan: Saatnya Rasionalitas Menggantikan Ketakutan
Mitos buaya dalam masyarakat Bugis-Makassar adalah bagian dari warisan budaya yang kaya, tetapi harus ditempatkan dalam konteks yang benar. Dengan memadukan ilmu pengetahuan dan ajaran Islam, kita dapat bergerak menuju pemahaman yang lebih rasional tanpa menghilangkan nilai budaya.
Zaman telah berubah. Kepercayaan yang dulu berfungsi sebagai pengingat untuk menjaga keseimbangan alam kini harus disandingkan dengan pendekatan yang lebih ilmiah dan religius. Buaya bukanlah leluhur, bukan pula makhluk mistis yang harus ditakuti, tetapi bagian dari ekosistem yang harus dipahami dan dijaga dengan ilmu serta keimanan.