Dinamika Sistem Pendidikan Lokal di Mandar: Transformasi Lembaga Pendidikan Lokal Dari Masa Kerajaan Balanipa Hingga Masa Kolonial Belanda

Konotasi.co.id -

Oleh: Muh. Ilham Noer Hamsah (Mahasiswa Prodi Magister Sejarah Universitas Gadjah Mada) 

Pendahuluan

Lembaga pendidikan lokal di Mandar memiliki sejarah panjang yang tidak terpisahkan dari dinamika sosial, politik, dan budaya masyarakatnya. Pada masa Kerajaan Balanipa, pendidikan lokal berfungsi sebagai alat untuk melestarikan nilai-nilai adat dan agama. Tradisi lisan dan hubungan personal menjadi metode utama dalam transmisi pengetahuan, yang mencerminkan kedekatan hubungan sosial dalam komunitas. Lembaga seperti Parewa Syara’ dan figur to manarang memainkan peran penting sebagai pusat pembelajaran yang berbasis pada nilai-nilai komunitas dan spiritualitas. Pendidikan ini tidak hanya berfokus pada pembelajaran teknis tetapi juga menanamkan nilai moral dan etika yang menjadi landasan kehidupan masyarakat Mandar.

Pada masa tersebut, pendidikan lokal berfungsi sebagai medium yang mengintegrasikan berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari pengajaran keterampilan praktis hingga pengajaran nilai spiritual. Pengetahuan yang ditransmisikan mencakup tata kelola adat, hukum lokal, hingga ajaran keagamaan yang mulai dipengaruhi oleh proses Islamisasi. Peran ulama dalam lingkungan pendidikan tradisional ini menjadi kunci utama dalam pengembangan intelektual masyarakat, yang pada akhirnya memperkuat posisi lembaga pendidikan lokal sebagai pelindung identitas budaya Mandar.

Kedatangan kolonial Belanda membawa sistem pendidikan formal yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan administrasi pemerintahan kolonial. Sistem ini memperkenalkan metode baru dalam pengajaran, seperti penggunaan buku teks, kurikulum standar, dan struktur hierarkis dalam lembaga pendidikan. Meskipun demikian, sistem ini juga menimbulkan pergesekan dengan nilai-nilai tradisional yang telah lama mengakar. Pendidikan formal cenderung meminggirkan lembaga pendidikan lokal yang dianggap tidak sejalan dengan modernisasi, meskipun banyak lembaga lokal yang menunjukkan fleksibilitas dalam menghadapi perubahan ini.

Transformasi ini menciptakan dinamika yang kompleks dalam sistem pendidikan di Mandar. Di satu sisi, pendidikan lokal mengalami marginalisasi akibat dominasi pendidikan formal kolonial. Namun, di sisi lain, masyarakat Mandar menunjukkan kemampuan adaptasi yang luar biasa. Lembaga pendidikan lokal mulai mengintegrasikan elemen-elemen baru yang diperkenalkan oleh sistem kolonial, tanpa sepenuhnya meninggalkan nilai-nilai tradisional. Proses ini menghasilkan bentuk pendidikan yang hibrid, di mana unsur-unsur lokal dan modern saling melengkapi.

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan proses transformasi lembaga pendidikan lokal di Mandar dari masa Kerajaan Balanipa hingga masa kolonial Belanda. Fokus utama terletak pada bagaimana transmisi pengetahuan berlangsung di tengah perubahan sosial-politik yang dinamis, serta bagaimana masyarakat Mandar merespons tantangan tersebut. Dengan menggunakan pendekatan historis dan teori transformasi sosial-budaya, kajian ini berupaya untuk menggambarkan dinamika perubahan ini secara komprehensif, sekaligus menyoroti kekuatan budaya lokal dalam mempertahankan identitasnya di tengah arus modernisasi.Dengan kedatangan kolonial Belanda, sistem pendidikan formal diperkenalkan, mengubah lanskap pendidikan di Mandar. Sistem ini membawa pengaruh baru yang sering kali berbenturan dengan nilai-nilai tradisional. Transformasi ini menimbulkan dinamika kompleks, di mana pendidikan lokal tidak hanya menghadapi marginalisasi tetapi juga menunjukkan kemampuan adaptasi melalui integrasi nilai lokal ke dalam pendidikan formal.

Terbentuknya Kerajaan Balanipa

Proses terbentuknya Kerajaan Balanipa di wilayah Mandar tidak dapat dilepaskan dari latar belakang sosial dan politik yang penuh dinamika serta konflik antar-pemimpin lokal atau tomakaka. Pada masa sebelum berdirinya kerajaan, wilayah Balanipa terdiri dari empat negeri besar, yaitu Napo, Samasundu, Mosso, dan Todang-todang, yang dikenal sebagai Appeq Banua Kaiyyang atau “empat negeri besar.” Setiap negeri ini dipimpin oleh Tomakaka, sosok pemimpin adat yang memiliki otoritas atas wilayah masing-masing (Hamid 2022:192–93). Namun, struktur kepemimpinan ini kerap diwarnai persaingan kekuasaan yang berujung pada konflik internal dan eksternal.

Pada masa itu, wilayah Mandar mengalami kekacauan akibat ambisi sejumlah tomakaka untuk memperluas pengaruh dan kekuasaannya. Beberapa tomakaka, seperti Tomakaka Passokkorang dan Tomakaka Lenggo, secara agresif berusaha menguasai wilayah-wilayah lain, termasuk negeri-negeri yang tergabung dalam Appeq Banua Kaiyyang. Kondisi ini menciptakan ketidakstabilan politik dan ancaman bagi masyarakat setempat, sehingga memunculkan kebutuhan mendesak akan seorang pemimpin yang dapat menyatukan wilayah dan menciptakan perdamaian (Poelinggomang 2015:36–37).

Sebagai respons terhadap situasi tersebut, negeri-negeri dalam Appeq Banua Kaiyyang membentuk persekutuan untuk menghadapi ancaman eksternal. Meskipun persekutuan ini berhasil memberikan perlindungan sementara, para pemimpin Appeq Banua Kaiyyang menyadari bahwa mereka membutuhkan figur yang lebih kuat dan karismatik untuk memulihkan ketertiban dan memastikan keberlanjutan wilayah mereka.

Sosok yang kemudian muncul untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah I Manyumbungi, yang dikenal dengan gelar kehormatannya, Todilaling. Ia adalah keturunan bangsawan Mandar dengan garis keturunan yang juga terhubung dengan Kerajaan Gowa, salah satu kerajaan besar di Sulawesi Selatan. Hubungan kekerabatan ini memberinya legitimasi sebagai pemimpin potensial yang mampu menyatukan wilayah Mandar. Sebelum kembali ke Mandar, Todilaling tinggal di Gowa, di mana ia menerima pendidikan militer, politik, dan budaya istana. Di Gowa, ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang cakap dan dihormati, terutama setelah terlibat dalam berbagai ekspedisi militer yang berhasil memperkuat dominasi Kerajaan Gowa.

Ketika para pemimpin Appeq Banua Kaiyyang mendengar kabar tentang Todilaling, mereka mengutus Pappuangan Mosso ke Gowa untuk membujuknya kembali ke tanah kelahirannya. Kehadiran Todilaling di Mandar dianggap sebagai harapan baru untuk mengakhiri kekacauan yang disebabkan oleh persaingan antar-tomakaka. Setelah menerima undangan dari para pemimpin Mandar, Todilaling kembali ke wilayah Napo dengan restu dari Sombayya ri Gowa (Raja Gowa). Dalam perjalanan pulangnya, ia membawa cendera mata simbolis dari Gowa, termasuk Gong Ta’bi Lobe dan anak pohon nipa, sebagai tanda persahabatan dan hubungan diplomatik antara Gowa dan Mandar (Mandra et al. 1991:25–30).

Sesampainya di Mandar, Todilaling segera mengatur strategi untuk menghadapi para tomakaka yang menjadi sumber konflik. Berkat kemampuan militernya yang terlatih, ia berhasil menaklukkan tomakaka-tomakaka agresif yang sebelumnya mengancam stabilitas Appeq Banua Kaiyyang. Keberhasilannya dalam memulihkan keamanan dan menyatukan wilayah membuatnya diangkat sebagai pemimpin tertinggi persekutuan. Tidak lama kemudian, persekutuan Appeq Banua Kaiyyang bertransformasi menjadi Kerajaan Balanipa, dengan Todilaling sebagai Mara’dia atau raja pertama.

Sebagai raja, Todilaling melakukan berbagai reformasi untuk memperkuat struktur pemerintahan. Ia membentuk Dewan Adat Kaiyyang yang terdiri dari pemimpin-pemimpin lokal, seperti Pappuangan Napo, Pappuangan Samasundu, Pappuangan Mosso, dan Pappuangan Todang-todang. Dewan ini memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan politik dan pemilihan raja. Selain itu, ia juga menetapkan prinsip-prinsip adat dan kontrak politik yang mengikat antara dirinya sebagai pemimpin dengan rakyat yang dipimpinnya. Kontrak ini menegaskan bahwa seorang Mara’dia harus memerintah berdasarkan adat dan kebiasaan yang berlaku, serta melindungi kepentingan rakyatnya (Rahman 2015).

Di bawah kepemimpinan Todilaling, Kerajaan Balanipa tidak hanya berhasil mempersatukan wilayah Mandar tetapi juga menjelma menjadi kekuatan politik yang disegani di Sulawesi Barat. Hubungan diplomatik dengan Kerajaan Gowa menjadi faktor penting dalam memperkuat posisi Balanipa di antara kerajaan-kerajaan tetangga. Selain itu, Todilaling juga menjalin persekutuan dengan kerajaan-kerajaan lain di Mandar melalui pembentukan Pitu Ba’bana Binanga, sebuah aliansi politik dan militer yang melibatkan tujuh kerajaan di wilayah pesisir.(Poelinggomang 2015:56–60)

Warisan Todilaling sebagai pendiri Kerajaan Balanipa terus dikenang oleh masyarakat Mandar. Ia tidak hanya dipandang sebagai pemimpin yang menyelamatkan negerinya dari kehancuran tetapi juga sebagai tokoh visioner yang meletakkan dasar-dasar pemerintahan yang kokoh dan berkelanjutan. Dengan visi kepemimpinannya, Todilaling berhasil mengubah persekutuan yang rapuh menjadi sebuah kerajaan besar yang memainkan peran penting dalam sejarah Mandar.

Hadirnya Lembaga Pendidikan

Setelah berhasil menghapuskan para Tomakaka yang dianggap selama ini mengancam ketertiban masyarakat di wilayah Mandar, I Manyambungi kemudian melanjutkan kekuasaannya dengan menata struktur pemerintahan di kerajaan Balanipa dengan menetapkan beberapa jabatan yang mengatur jalannya sistem pemerintahan. Mara’dia pertama kerajaan balanipa ini membagi beberapa struktur pemerintahan berdasarkan wilayah yakni Banua Kaiyang (wilayah inti kerajaan yang meliputi wilayah Appeq Banua Kaiyang), Banua dan Anak Banua (wilayah yang merupakan perkampungan yang terikat dengan Banua Kaiyang). Pada dasarnya setiap wilayah dikepalai oleh seorang kepala adat, yang dalam penataannya dikenal dengan sebutan Puang. Maka dari itu kekuasaan kepala adat dalam wilayah kerajaan Balanipa disebut Pappuangan.

Selanjutnya, I Manyambungi juga menambahkan posisi structural lain di wilayah kerajaan dengan mengangkat Mara’dia Matoa sebagai pejabat penasihat dan wakil dari raja yang memegang kendali politik ketika raja tidak dapat menjalankan tupoksinya, dalam struktur pemerintahan jabatan ini digelari Peannangguruanna Ada’. Selanjutnya diangkat pula Mara’dia Malolo yang bertugas sebagai panglima militer kerajaan, diketahui dari teks lokal (Lontarak) Mandar bahwa pejabat-pejabat yang mengisi posisi ini berasal dari keluarga Raja sehingga hak prerogatif dalam proses pengangkatan dan pemberhentian sepenuhnya berada di tangan raja (Muthalib et al. 1988).

Sepeninggal I Manyambungi, mahkota kerajaan Maradia Arajang Balanipa dialihkan kepada kepada putranya yang dikenal dengan Tomepayung. Tomepayung merupakan anak dari hasil pernikahan I Manyambungi dengan seorang wanita yang berasal dari Kerajaan Gowa, bernama Isorai. Sementara versi lain mengemukakan bahwa I Manyambungi menikah dengan Karaeng Surya, puteri Karaeng Sanrabone (cucu raja Gowa) dan memiliki anak bernama Tomepayung, Saharuddin (1978:48) menyebutkan bahwa raja Balanipa ke-Il, Tomepayung bersahabat dengan sepupunya, yaitu Raja Gowa ke-X Tunipalangga Ulaweng, putera Tumaparisi Kalonna raja Gowa ke-IX.

Pada masa pemerintahan To Mepayung (raja ke-2) terdapat beberapa program kerja yang sifatnya prioritas, di antaranya; 1) Penyempurnaan tata dan struktur kelembagaan pemerintahan yang meliputi bidang pemerintahan, pertahanan dan keamanan, bidang ekonomi dan pemerintahan local yang otonom; 2) dan membangun relasi politis antara pitu babana Binangan dan pitu ulunna Salu, dengan mengangkat dan menetapkan seorang Maradia Matoa sebagai wakil raja yang pertama diemban oleh Tonijallo yang sering disebut sebagai pennangguruanna ada’ dan memperkuat alat utama sistem militer dengan mengangkat Panglima perang bergelar Maradia Malolo yang pertama dijabat oleh Daetta, dan mendapat pengawasan langsung dari lembaga hadat, pengangkatan jabatan panglima dimaksudkan untuk memproteksi dan menjamin stabilitas dalam teritorial kerajaan Balanipa, jabatan sebagai panglima perang secara koordinatif berada di bawah pengawasan langsung raja, dengan tugas spesifik memimpin pasukan tentara dalam suatu pertempuran, baik menghadapi invasi dari luar mau pun sebaliknya melakukan perang ekspansif ke wilayah lainnya (Kila 2016:44–47).

Secara elaboratif Amir Syarifuddin (2010:56-69) mengemukakan bahwa jabatan Maradia Malolo ini membawahi empat angkatan/ pasukan dengan nama Appe Jannangan yang terdiri dari empat annangguru dan tiap-tiap pasukan diberi nama Joa dan setiap angkatan bersenjata dilengkapi petugas yang dikenal dengan sariang, demikian pula posisi sebagai kede yang berfungsi sebagai ajudan annangguru joa, keempat pasukan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Andongguru Pakkawasung (pasukan khusus) dengan alat persenjataan berupa tombak trisula dipimpin oleh annangguru pakkawusu dan bermarkas di Mosso; 2) Andongguru Passinapan (pasukan artileri) dengan senjata utama kanjappan dipimpin oleh annangguru passinapan dan bermarkas di Todang-todang; 3) Andongguru Paqburasan (pasukan pemanah dan sumpit) dipimpin oleh annangguru paburasan bermarkas di Samasundu, dan 4) Andogguru Joaq Matoa (pasukan pengawal istana dan raja) berkedudukan di Napo.

Di samping keempat angkatan perang di atas, bidang pertahanan dan keamanan juga digenapi dengan keberadaan dua angkatan pasukan khas (paskhas) terdiri dari: Pertama, Parromo, sebagai pasukan huru-hara yang familiar disebut pitumbanua, tujuh wilayah tersebut meliputi; 1) Sattoko, pemangku adanya disebut Maradia Sattoko; 2) Pussui, pemangku adatnya popular Maradia Pussui; 3) Puttappi, dengan pemangku adat Maradia Puttappi; 4) Sambali-bali, dengan pemangku adat Maradia Sambali-bali; 5) Peburru, pemangku adanya Maradia Peburu; 6) Pattemarang, pemangku adatnya Maradia Pattemarang, dan 7) Salunase, dengan pemangku adat Maradia Salunase. Kedua, Palili Arua, pasukan in khusus memprotensi-memagari- kerajaan yang terdiri dari delapan kampung meliputi; 1) Appe di Buttu (empat peleton di pegunungan), Yaitu; a) Saburra, dengan pemangku adat Maradia Saburra; b) Daala, pemangku adat Maradia Daala; c) Lenggo, pemangku adatnya Maradia Lenggo; dan d) Batu dengan pemangku adatnya Aruang Batu; 2) Appe di Lappar (empat peleton di pesisir pantai), yaitu; a) Rea, pemangku adatnya Tomakaka Rea; b) Bunga-bunga, pemangku adat Tomakaka Bunga-bunga; c) Belua, dengan pemangku adat Tomakaka Belua; dan d) Tabone, dengan pemangku adat Tomakaka Tabone. Keistimewaan kedua pasukan ini karena berada langsung di bawah koordinasi Maradia Arajang Balanipa melalui sepuluh anggota hadat, dan tidak di bawahi panglima angkatan bersenjata (Maradia Malolo) (Fakhriati 2010:65–66).

Setelah Tomepayung wafat, kursi kepemimpinan kerajaan Balanipa kemudian di emban oleh Tonijallo yang merupakan Mara’dia Balanipa ketiga. Pada permulaan pemerintahan Mara’dia Tonjallo, ia diterima secara baik oleh pemangku adat dan rakyat. Namun, karena ambisi kekuasaan dan perlakuan semena-mena terhadap rakyat serta tidak menghiraukan peringatan dari dewan ada’ kaiyang, sehingga ia dianggap kurang wajar di mata pemangku adat dan rakyat. Akhirnya dibunuh tanpa diketahui pelaku dan sebab-musababnya.

Sampai dengan periode raja ketiga ini, pemerintahan kerajaan Balanipa nampaknya belum memusatkan perhatian yang besar pada lembaga pendidikan kerajaan, hal tersebut dapat dilihat dari beberapa struktur pemerintahan yang dibentuk masih sangat berhaluan politik dan militeristik, sebaliknya fungsi pendidikan sebagai bagian dari upaya transmisi pengetahuan masih disatukan dengan beberapa lembaga lain yang sesaui dengan keahliannya masing-masing. Jika diamati, pemberian gelar Andongguru dan Annangguru memperlihatkan kecenderungan raja menempatkan orang-orang terdidik pada suatu jabatan tertentu dengan harapan selain untuk memaksimalkan kinerja pemerintahan, orang-orang ini yang memiliki keunggulan dalam hal intelektualitas dapat menjadi wadah belajar bagi masyarakat khususnya bagi anak-anak bangsawan yang sengaja dilatih dan dipersiapkan menjadi penerus di tatanan pemerintahan.

Struktur pemerintahan kerajaan Balanipa mulai berubah pada masa pemerintahan Tandibela Kakanna Ipattang yang digelari Daengta Tommuane, raja keempat ini merupakan putra dari Tonijallo yang sebelumnya telah wafat. Ia juga melanjutkan kebijakan para pendahulunya dalam menata pemerintahan dan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Balanipa. Dalam rangka itu, maka diangkatlah pappuangan Lambe dan pappuangan Lakka menjadi pemangku adat di pusat pemerintahan, sekaligus menjadikan kedua banua (negeri) itu sebagai daerah inti Balanipa. Pappuangan Lambe bertugas sebagai penghubung antara Kerajaan Balanipa dengan kerajaan-kerajaan lain di luar persekutuan pitu babana binanga dan pitu ulunna salu. Sementara pappuangan Lakka bertugas sebagai penghubung antara Kerajaan Balanipa dengan kerajaan-kerajaan dalam persekutuan pitu babana binanga. Selain sebagai pemangku adat di pusat pemerintahan, kedua pappuangan ini juga menjadi kepala pemerintahan di banua (negeri) masing-masing (Poelinggomang 2015:72).

Ketika pelabuhan Kerajaan Balanipa (Para, Ba’barura, dan Bonde) semakin ramai didatangi perahu-perahu dagang, Mara dia Daengta mengangkat pappuangan Koyang menjadi pemangku adat yang dikenal dengan jabatan Syahbandar (sawannar), yang antara lain bertugas mengatur lalu lintas dan pendaratan perahu dagang yang keluar masuk pelabuhan. la juga mempunyai tugas sebagai pelaksana di bidang keuangan kerajaan, Selain itu, Maradia Daengta juga mengangkat pappuangan Rui menjadi pemangku adat di pusat pemerintahan, yang bertugas sebagai pelaksana dalam menyampaikan berbagai hal mengenai urusan penerangan. Pengangkatan kedua pappuangan ini, semakin menambah jumlah pejabat di pusat pemerintahan menjadi sepuluh pemangku adat. Kesepuluh pemangku adat inilah yang kemudian dikenal dengan sappulo sokko ada’ (sepuluh kepala pemerintahan atau pemangku adat) Kerajaan Balanipa (Poelinggomang 2015:72–73).

Pada tahun 1605 kerajaan Gowa-Tallo yang merupakan sekutu dari kerajaan Balanipa menyatakan telah memeluk agama Islam, Sultan Alauddin yang merupakan raja Kerajaan Gowa ke-14 yang memiliki nama asli I Mangarangi Daeng Manrabbia yang kemudian digelari Tumengana ri Gaukanna telah resmi memeluk agama Islam setelah usaha yang dilakukan oleh para muballigh yang berasal dari Minangkabau (Sewang 2005). Selanjutnya, melalui sebuah ikrar yang mengikat seluruh kerajaan yang mendiami kawasan Sulawesi Selatan, Sultan Alauddin kemudian memancarkan proses Islamisasi kepada masyarakat dan kerajaan-kerajaan lain yang masih menganut kepercayaan lokal. Hal ini kemudian menimbulkan resistensi dari beberapa kerajaan yang menolak untuk meninggalkan kepercayaan leluhur mereka, proses Islamisasi di kawasan Sulawesi Selatan sendiri terjadi melalui dua cara yakni penerimaan secara sukarela dan melalui peperangan, masa-masa peperangan itulah yang kemudian dikenal sebagai perang Musu’ Assellengeng (Mattulada 1982).

Kerajaan Balanipa sendiri yang merupakan sekutu dekat dari Gowa-Tallo, resmi menjadikan Islam sebagai agama kerajaan setelah salah seorang utusan dari kerajaan Gowa yang bernama Abdurrahim Kamaluddin yang kemudian digelari Tosalama ri Binuang berhasil mengislamkan raja Balanipa keempat Daetta Tommuane yang diperkirakan sekitar tahun 1610. Setelah itu, raja kemudian membuat sebuah lembaga khusus yang mengurusi bidang keagamaan, lembaga inilah yang kemudian dikenal sebagai Parewa Syara’ yang dikepalai oleh seorang Kadhi, lembaga ini memiliki strukturisasi yang detail di dalamnya diisi oleh Parewa Masigi (Ta’mir Masjid), Capua (bertugas mendampingi kadhi dalam ritual keagamaan dan adat) Katteq (bertugas mengelola bidang keagamaan dalam hal dakwah dan khotbah), Bilala (pengurus Muazzin tetap masjid) dan Doja (bendahara masjid). Para pejabat di bidang keagamaan ini pada umumnya diangkat dan diturunkan dari jabatan langsung oleh Mara’dia sehingga membuat penetapan dalam bidang keagamaan ini adalah hak prerogatif raja sebagai kepala pemerintahan.

Kedudukan qadhi dalam struktur pemerintahan kerajaan Balanipa memiliki otoritas dan kekuasaan yang relatif luas yang bertanggungjawab dalam hal pengembangan syiar Islam, pembinaan dan pemeliharaan rumah-rumah ibadah, melayani upacara-upacara keagamaan, mengurus jenasah, dan termasuk proaktif dalam memutuskan dan mengatur segala hal yang berhubungan dengan bidang syariat Islam, gahdi juga merangkap sebagai penasehat dan pendamping raja dalam implementasi peradilan adat yang harus relevan dengan syariat Islam. Efektifitas peranan Parewa Syara’ turut disaksikan oleh C. Nooteboom dengan mengklaim bahwa di Balanipa terdapat suatu syara’ untuk mengadili mengenai urusan-urusan syara’ yang penting. Urusan-urusan kecil diselesaikan sendiri oleh lebai di dalam wilayahnya di kampung, dan ritual dan seremonial hari-hari besar agama agama hanya sekedar diikuti (Fakhriati 2010).

Salah satu kegiatan yang sangat berkesan setelah penguasa dan rakyat menganut Islam adalah menghimpun sakat untuk melayani orang yang membutuhkan. Zakat yang diperoleh itu merupakan sumbangan dari para pedagang Belanipa dan juga pedagang dari luar yang datang berniaga di Balanipa. Zakat itu dipungut oleh syahbandar (sawannar). Tugas itu merupakan tugas tambahan dari tugas utamanya yaitu mengurus kegiatan perdagangan dan memungut pajak perdagangan, bea masuk dan keluar bagi perahu di pelabuhan. Tugas utamanya itu adalah untuk pembenda-haraan kerajaan. Selain mengusahakan zakat, pemerintah juga merintis lembaga pengajian yang disebut Mukim (sejenis pesantren). Mukim ini dipersiapkan untuk mendidik calon pemimpin agama dan penyiar ajaran agama. Tempat mukim yang pertama didirikan di Desa Tangnga-Tangnga, Kecamatan Tinambung sekarang. Di tempat ini juga didirikan mesjid yang pertama di Kerajaan Balanipa, diketahui dari pengembangan awal dari lembaga pendidikan pertama di Mandar ini melakukan kaderisasi terhadap 44 orang pemuda yang diniatkan akan menjadi calon-calon penerus di lembaga keagamaan dan melanjutkan syiar islam di internal kerajaan Balanipa (Poelinggomang 2015).

Pada masa awal pembentukan lembaga pendidikan ini Abdurrahim Kamaluddin yang menyebarkan Islam di Mandar sekaligus menjabat sebagai guru yang bergelar Annangguruanna Syara’, dalam proses awal pembelajarannya lembaga ini menerapkan sistem pendidikan dengan orientasi sufistik (tasawuf). Penyebaran Islam dengan orientasi sufistik lebih memudahkan proses akulturasi karena lebih toleran dengan kearifan-kearifan lokal (local wisdoms) sebagai wahana asketik tetua adat yang sudah mengalami kristalisasi secara turun-temurun diartikulasikan dan ditransmisikan dari generasi ke generasi. Karena itu kalangan sufi memberikan kontribusi signifikan dalam proses pribumisasi Islam dalam ranah budaya Mandar dengan keterbukaan untuk mendialogkan kredo keagamaan dengan basis interfaith dialog bahkan dengan tradisi sekalipun, sebagaimana yang diartikulasikan Syed Hossein Nasr yang dikutip Syafaatun Mirzanah bahwa pada tataran esoterisme sufilah perjumpaan terdalam [Islam] dengan agama lain bisa terjadi dan disini pulalah seseorang dapat menemukan landasan penting untuk memahami kedalaman agama lain, Sufi meninggalkan yang banyak demi Yang Satu, dan melalui proses ini dia akan dikaruniai pandangan mendalam mengenai Yang Satu di dalam yang banyak (Mappangara and Abbas 2003).

Sedangkan pendidikan dengan muatan dan orientasi fiqih mulai dipopulerkan pada akhi: abad ke-18 oleh seorang guru yang bernama H. Nuh, cucu generasi kedua dari Al-Adiy guru Ga’de salah seorang penganjur Islam di Mandar pada abad ke-18, yang acap kali dipanggil dengan H. loa yang mendirikan halaqah pendidikan yang dipusatkan di Pambusuang kemudian di Campalagian, sehingga Campalagian pernah menjadi sentra pendidikan Islam dengan sistem pesantren (ma’had) di Mandar berkat jasa dan kontribusi H. Nuh dalam bidang pengembangan pendidikan Islam sebagai embrio pendirian pesantren yang di bawah yayasan pesantren Nuhiyah yang didirikan pada tanggal 9 juni 1968.

Hadirnya Kekuasaan Kolonial dan Perubahan Pada Struktur Pemerintahan

Setelah Belanda menyelesaikan Perang Makassar (1666-1669) dan menandatangani Perjanjian Bungaya pada 1667, mereka mulai memantapkan kontrol atas kerajaan-kerajaan di Sulawesi, termasuk Mandar. Namun, baru pada 1905, melalui politiek pasificatie (politik pasifikasi), Belanda melancarkan ekspedisi militer untuk menaklukkan wilayah Mandar secara de facto.

Kampanye militer ini dilakukan dengan alasan mengamankan wilayah Hindia Belanda dari potensi ancaman asing serta untuk mengintegrasikan kawasan Mandar ke dalam sistem kolonial. Perlawanan dari kerajaan-kerajaan lokal seperti Balanipa dan Pitu Babana Binanga berhasil ditekan, meskipun banyak terjadi perlawanan sporadis yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk sepenuhnya dikendalikan. Pada 1908, setelah berhasil menguasai sebagian besar wilayah, Belanda mendirikan Afdeling Mandar sebagai bagian dari struktur pemerintahan kolonial di bawah Gouvernement Celebes en Onderhoorigheden (Pemerintahan Sulawesi dan Daerah Bawahannya). Afdeling Mandar dibagi menjadi empat onderafdelingen: Majene, Polewali, Mamasa, dan Mamuju, yang masing-masing dikelola oleh seorang kontrolir kolonial (Veen n.d.:2).

Dengan berlakunya sistem administrasi kolonial, Belanda memperkenalkan struktur pemerintahan baru yang mengurangi otonomi penguasa lokal. Raja-raja Mandar yang sebelumnya memiliki kekuasaan otonom secara tradisional diubah statusnya menjadi pejabat bawahan Belanda, yang dikenal sebagai zelfbestuurder atau penguasa yang bertanggung jawab langsung kepada pemerintah kolonial.

Salah satu perubahan signifikan adalah penghapusan sistem tradisional berbasis adat dalam beberapa aspek pemerintahan, seperti peradilan dan perpajakan. Sistem hukum adat secara bertahap digantikan oleh sistem hukum kolonial, di mana Belanda mendirikan pengadilan untuk menangani kasus-kasus tertentu, termasuk yang melibatkan penduduk lokal. Di bidang perpajakan, Belanda memberlakukan pajak tanah dan kepala (landrente dan hoofdelijke belasting), yang menimbulkan beban ekonomi baru bagi masyarakat. Kebijakan ini sering kali memicu resistensi dari penduduk, baik dalam bentuk penghindaran pajak maupun pemberontakan kecil-kecilan (Amir 2016).

Dalam bidang pendidikan, kehadiran pemerintah kolonial Belanda membawa pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat di Mandar, lembaga pendidikan lokal (Mukim) tidak lagi berfungsi sebagai sarana pembelajaran bagi para pemuda mandar, hal ini besar dipengaruhi oleh hilangnya kekuasaan politik kerajaan lokal yang sebelumnya sangat berpengaruh bagi masyarakat, hilangnya Mukim ini sebagai lembaga pendidikan menurut hemat penulis adalah besar dilandasi ketidakmampuan pihak kerajaan lokal dalam memberikan gaji kepada para Annangguru yang disebabkan resapan pajak sepenuhnya tidak lagi dikelola oleh pihak kerajaan tetapi langsung melalui pihak pemerintah kolonial.

Selanjutnya, pemerintah kolonial juga berkontribusi terhadap hilangnya lembaga pendidikan lokal dengan mendirikan sebuah lembaga pendidikan formal untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan birokrasi kolonial. Sekolah-sekolah ini didirikan sebagai bagian dari upaya untuk menciptakan tenaga administrasi lokal yang mendukung struktur birokrasi kolonial. Kurikulum yang diterapkan di sekolah formal kolonial ini menitikberatkan pada pengajaran bahasa Belanda, aritmatika, sejarah, dan pengetahuan umum yang bercorak Barat. Tujuannya adalah untuk membentuk individu yang mampu bekerja sebagai pegawai kolonial tingkat rendah, bukan untuk memberikan pendidikan yang memberdayakan masyarakat secara luas.

Meskipun keberadaan sekolah-sekolah ini membawa modernisasi dalam beberapa aspek, akses terhadapnya sangat terbatas. Sebagian besar yang dapat menikmati pendidikan kolonial adalah anak-anak dari keluarga bangsawan atau elite lokal. Sementara itu, masyarakat biasa tidak hanya terkendala biaya tetapi juga sering kali menolak sistem pendidikan ini karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai lokal dan agama. Pendidikan formal kolonial juga tidak memberikan tempat bagi pengajaran tradisional atau agama Islam, yang sudah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Mandar sejak Islamisasi berlangsung.

Sebagai tanggapan terhadap intervensi ini, masyarakat Mandar, terutama para annangguru, memberikan respon yang beragam. Sebagian besar menolak sistem pendidikan kolonial secara aktif maupun pasif. Banyak keluarga enggan mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah kolonial karena takut kehilangan nilai-nilai Islam dan tradisi lokal yang diwariskan melalui pendidikan berbasis masjid dan surau. Penolakan ini mencerminkan resistensi masyarakat Mandar terhadap dominasi kolonial dalam kehidupan sehari-hari (Musaddad 2018).

Namun, di tengah penolakan tersebut, muncul juga strategi adaptasi dari para annangguru. Mereka mulai mengembangkan pendidikan berbasis agama yang lebih terorganisir untuk bersaing dengan sistem formal yang diperkenalkan Belanda. Pesantren dan madrasah yang dikelola oleh annangguru menjadi alternatif yang diminati oleh masyarakat lokal. Lembaga-lembaga ini tidak hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga mulai memasukkan mata pelajaran umum, seperti aritmatika dan pengetahuan dasar, sebagai respons terhadap kebutuhan zaman. Dengan cara ini, para annangguru tidak hanya melestarikan tradisi tetapi juga menjembatani pendidikan tradisional dengan perkembangan modern.

Melalui penguatan sistem pendidikan berbasis Islam ini, para annangguru berhasil mempertahankan peran mereka sebagai pemimpin spiritual dan intelektual dalam masyarakat. Pendidikan tradisional tetap menjadi bagian penting dari identitas Mandar di tengah tekanan kolonial, sekaligus membangun landasan yang kuat untuk pendidikan Islam di masa depan. Respon-respon ini menunjukkan kemampuan adaptasi masyarakat Mandar yang kreatif dalam menghadapi perubahan sosial-politik pada masa kolonial.

Kesimpulan

Sejarah pendidikan lokal di Mandar mencerminkan transformasi yang dinamis, mulai dari masa Kerajaan Balanipa hingga era kolonial Belanda. Pada awalnya, pendidikan lokal berfungsi sebagai sarana pelestarian nilai-nilai adat dan agama melalui metode tradisional seperti tradisi lisan dan hubungan personal. Lembaga seperti Parewa Syara’ memainkan peran penting dalam mengintegrasikan ajaran agama, nilai adat, dan keterampilan praktis, yang sekaligus memperkuat identitas budaya Mandar. Namun, kedatangan kolonial Belanda membawa perubahan signifikan dengan diperkenalkannya sistem pendidikan formal yang berbasis kurikulum Barat. Meskipun memberikan elemen modernisasi, sistem ini sering kali bertentangan dengan nilai-nilai tradisional lokal, memarginalisasi lembaga pendidikan tradisional seperti Mukim.

Pergesekan ini menciptakan resistensi di kalangan masyarakat Mandar, yang tetap berusaha mempertahankan nilai-nilai lokal melalui pesantren dan madrasah yang lebih sesuai dengan tradisi dan kebutuhan komunitas mereka. Adaptasi kreatif masyarakat Mandar terhadap tantangan ini menghasilkan sistem pendidikan yang hibrid, di mana elemen tradisional dan modern saling melengkapi. Transformasi ini menunjukkan kekuatan budaya lokal Mandar dalam mempertahankan identitasnya di tengah tekanan modernisasi dan kolonialisme.

Daftar Pustaka

Amir, Muhammad. 2016. Penataan Mandar Masa Kolonial Belanda 1905-1942. edited by S. Muhtamar. Makassar: Arus Timur.

Fakhriati. 2010. Sejarah Islam Di Mandar. Jakarta: Puslitbang Lektur Dan Khazanah Keagamaan Kemenag RI.

Hamid, Abd Rahman. 2022. “Kebangkitan Mandar Abad Xvi-Xvii.” Pangadereng 8(1):189–209. doi: 10.36869/pjhpish.v8i1.220.

Kila, Syahrir. 2016. Budaya Politik Kerajaan Balanipa. Cet. 1. edited by Djumadi. Makassar: Pustaka Refleksi.

Mandra, A. .., M. Yusuf, Hapipa, Wahyuddin, and Tabrtaviv. 1991. Lontar Mandar (Transliterasi). edited by Sembiring. Kencana. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mappangara, Suriadi, and Irwan Abbas. 2003. Sejarah Islam Di Sulawesi Selatan. Makassar: Lamacca Press.

Mattulada. 1982. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah (1510-1700). Yogyakarta: Ombak.

Musaddad, Aco. 2018. Annangguru Dalam Perubahan Sosial Di Mandar. Cet.1. Polewali Mandar: Gerbang Visual.

Muthalib, Abdul, Azis Syah, Suriadi Yasil, Gunawan, and Gani. 1988. Lontar Mandar O Diadaq O Dibiasa (Transliterasi). Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Selatan.

Poelinggomang, L. Edward. 2015. Sejarah Mandar: Masa Kerajaan Hingga Sulawesi Barat. Solo: Zada Haniva.

Rahman, Mas’ud Darmawan. 2015. Puang Dan Daeng: Sistem Nilai Budaya Orang Balanipa-Mandar. Cetakan Ke. edited by M. I. K. Bodi. Makassar: Yayasan Menara Ilmu.

Saharuddin. 1978. Pertalian Kekerabatan Raja Balanipa Dengan Raja Lainnya Di Mandar. Makassar: Bingkisan Budaya.

Sewang, A. M. 2005. Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI Sampai Abad XVII: Abad XVI Sampai Abad XVII. Cetakan Ke. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Veen, W. E. .. (assistent-resident). n.d. (Arsip Kolonial) Vervolg-Memorie van Overgave van de Afdeling Mandar. 

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *