Kemerdekaan dan Ironi Perbudakan

Konotasi.co.id -

Saat itu juga saya teringat analogi proklamatorku, proklamatormu dan Proklamator kalian yakni Bung Karno, bahwa kemerdekaan adalah ‘jembatan emas’ apa maknanya? Apa hikmahnya?.

Yah, imajinasi kita tentang jembatan adalah penyeberangan, adalah penghubung, adalah titian. Dengan analogi itu kemerdekaan diandaikan penghubung, titian bahkan penyebrangan sekaligus untuk memungkinkan perpindahan kita dari suatu tempat ke tempat lainnya.

Dalam hal demikian, kemerdekaan  kita berpindah dari alam kolonialisme ke alam merdeka perbudakan.

Tetapi makna kemerdekaan sebagai jembatan emas punya makna filosofis yang lebih dari sekedar penghubung, penyeberangan, dan titian.

Dalam risalahnya yang terkenal “Mencapai Indonesia Merdeka” Soekarno menggambarkan jembatan emas itu sebagai sebuah ‘kemungkinan’ bahkan sebuah ‘ketidakpastian’.

Yah, pertanyaan muncul lagi, kenapa demikian? Soekarno mengatakan, di seberang jembatan itu jalan terbagi atas dua rute.

Satu ke dunia ‘Keselamatan Marhaen’ dan satunya ke dunia ‘Kesengsaran Marhaen’ atau dalam bahasanya ‘Menuju dunia sama rata, sama rasa atau menuju dunia sama ratap, sama nangis’.

Berbekal pengalaman di Revolusi Perancis pada abad ke–18 memang berhasil meluluhlantakkan, meleburkan bahkan menghancurkan kekuasaan feodalisme. Namun, Pada akhirnya kaum borjuislah yang memegang roda kemenangan.

Di bawah roda borjuislah kendaraan kereta kemenangan beratus tahun itu menuju dalam dunia kapitalistik. Nasib rakyat jelata bahkan buruh dan petani pun tidak lebih baik.

Tetap hidup dalam nestapa akibat penindasan oleh kapitalis. Mereka hanyalah budak yang berganti tuan dari feodalisme yang sudah habis masanya ke kapitalisme yang sampai sekarang mengangkangi negara.

Padahal sebelumnya rakyat jelata yang hanyalah budak yang ada saat itu memiliki andil besar dalam pelengseran kekuasan feodal.

Bahkan jika tidak adanya keterlibatan rakyat jelata perjuangan kaum Borjuis melawan kekuasan Feodal tidaklah akan meraih kemenangan.

Memanfaatkan rakyat jelata tidaklah mudah, mengapa saya katakan demikian? sebab kaum borjuis dalam memikat rakyat jelata memproklamirkan slogan setinggi langit, liberte (kebebasan), egalite (persamaan) dan fraternite (persaudaraan) yang tidak mungkin didapatkan pada saat itu.

Inilah yang disebut ‘jalan kesengsaraan’ itu. Soekarno tidak menginginkannya terulang dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Soekarno tidak ingin rakyat Indonesia menjadi ‘pengupas nangka’ dan hanya terkena getahnya, sementara nangkanya sendiri disantap oleh kaum borjuis nan ningrat itu.

Lantas, bagaimana “jalan keselamatan”. Perwujudan seperti apakah itu? Soekarno menjawab itu dengan konsepsi politik Soekarno yang disebut sosio-demokrasi.

Sosio-demokrasi yakni antitesa ‘democratic of parlementer’ atas dasar revolusi Perancis. Ia mengatakan demokrasi parlementer hanya menjamin kebebasan politik, tidak untuk kebebasan lapangan ekonomi.

Dengan itu, kendati ruang politik kaum Marhaen leluasa bahkan berkesempatan memilih dan dipilih dalam pemilu. Bahkan bisa menjatuhkan Presiden dan jajaran Menteri tetapi dalam konsepsi perekonomian mereka tetaplah Istiqomah dalam penghambaannya.

Penghidupan ditentukan oleh tuannya, bahkan bisa saja dilengserkan kapan saja oleh tuannya atau dalam bahasa kekinian ‘tuannya tidak mood’. Oleh karena itu Soekarno menyebut demokrasi Parlementer sebagai demokrasi borjuis.

Konsep Soekarno dengan sosio-demokrasi berusaha menutup cacatnya demokrasi borjuis, dengan gagasan politik menggabungkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.

Di sini, Marhaen bukan hanya pemegang kursi kekuasan politik tetapi juga bergerak massif di lapangan ekonomi melalui pola kepemilikan sosial.

Di dalam politik rakyat jelata sekalipun bisa menjadi pengendali jalannya kekuasan, semua urusan mensyaratkan partisipasi rakyat, baik Parpol (Partai Politik) maupun organisasi kemasyarakatan.

Dalam ekonomi, semangat atas dasar Pasal 33 UUD 1945. Dalam demokrasi politik, rakyat menjadi pengendali jalannya kekuasaan.

Semua urusan yang menyangkut kepentingan bersama seperti politik, ekonomi, pendidikan, kesenian, dan lain-lain, menjadi urusan rakyat.

Ini mensyaratkan adanya partisipasi rakyat, baik melalui partai politik atau organisasi sosial maupun sebagai individu, dalam merumuskan dan memutuskan kebijakan yang menyangkut kepentingan bersama.

Dalam demokrasi ekonomi, semangatnya adalah pemilikan sosial terhadap alat-alat produksi dan sumber daya ekonomi.

Spirit ini ada di dalam Pasal 33 UUD 1945. Tidak adanya lagi kepemilikan alat produksi di tangan segelintir orang, yakni kaum borjuis. Sementara rakyat banyak dipaksa menjadi buruh upahan.

Sosio-demokrasi memposisikan rakyat jelata sebagai pemegang roda kereta kemerdekaan. Dan sosio-demokrasi melalui kesetaraan di lapangan politik dan ekonomi akan membuka sangat lebar jalan menuju, dunia sama rata-sama rasa.

Sangat disayangkan, penyelenggaran negara selama 79 tahun kemerdekaan, terutama di Orba – Reformasi sekarang bertolak belakang dengan keinginan sang proklamator.

Dengan mengadopsi sistem kapitalisme, menjadikan rakyat jelata budak dan pemegang roda kemenangan kembali adalah kaum borjuis.

Sudah menjadi hal lumrah lagi, Di usia kemerdekaan yang sudah 79 tahun bangsa ini bukan mendekati ‘Dunia sama rata-sama rasa’  melainkan merasakan ‘Dunia sama ratap-sama nangis’.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *