Lima Hal Wajib Diketahui Tentang Danantara Sebagai Superholding BUMN

Konotasi–Presiden Prabowo Subianto resmi meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau disingkat BPI Danantara Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin (24/02) lalu.
Sebagai langkah awal, Prabowo berkata dana sebesar US$20 miliar atau sekitar Rp325 triliun dari penghematan anggaran akan digelontorkan untuk Danantara Indonesia.
“Dana yang sebelumnya terhambat oleh efisiensi, korupsi dan belanja-belanja kurang tepat sasaran, kini dana tersebut akan dialokasikan untuk dikelola oleh Danantara Indonesia, diinvestasikan dalam 20 atau lebih proyek-proyek nasional,” kata Prabowo.
Prabowo menjabarkan gelombang pertama investasi ratusan triliun rupiah itu akan berfokus pada hilirisasi nikel, bauksit, tembaga, pembangunan pusat data kecerdasan buatan, kilang minyak, pabrik petrokimia, produksi pangan dan protein, aquaculture, serta energi terbarukan.
Secara total, lembaga ini menargetkan akan mengelola aset negara, yang mencapai lebih dari US$900 miliar (Rp14.000 triliun) guna membiayai proyek-proyek strategis.
Apa itu Danantara?
Danantara merupakan badan pengelola investasi negara yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia.
Secara sederhana, Danantara bisa diibaratkan sebagai bank investasi milik negara yang mengelola dana dan aset strategis—termasuk dana dari ekspor sumber daya alam (DHE SDA) dan aset pemerintah dari berbagai kementerian untuk diinvestasikan pada proyek-proyek berkelanjutan di luar APBN.
Definisi ini dipaparkan Ariyo DP Irhamna, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef).
BPI Danantara sendiri adalah lembaga pengelola sovereign wealth fund (dana kekayaan negara atau dana investasi negara) alias SWF. Indonesia sebelumnya sudah memiliki SWF yaitu Indonesia Investment Authority atau INA.
Pemimpin Danantara
Kepala Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, mengatakan Danantara Indonesia akan dipimpin oleh Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM, Rosan P Roeslani.
“Nanti Danantara akan dipimpin oleh Bapak Rosan Roeslani,” kata Hasan, Senin (24/02).
Adapun Wakil Menteri BUMN Dony Oskaria akan ditempatkan dalam holding operasional, sementara Pandu Sjahrir akan ditempatkan di holding investasi.
Selain mereka, Prabowo juga telah menunjuk Erick Thohir sebagai Ketua Dewan Pengawas Danantara. Menteri BUMN ini akan didamping oleh Muliaman D. Hadad sebagai wakilnya.
Kemudian, Prabowo juga melibatkan para mantan presiden sebagai penasihat dari Danantara.
Pada peluncuran BPI Danantara, tampak Presiden ketujuh Joko Widodo, Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono, Wapres ke-13 Ma’ruf Amin, Wapres ke-12 Jusuf Kalla, dan Wapres ke-11 Boediono.
“Nanti mantan-mantan Presiden itu nanti akan diajak untuk menjadi penasihat, agar lembaga ini betul-betul dikawal, dijaga oleh figur-figur yang penuh integritas dan memang cinta Indonesia,” tambah Hasan.
Peran BUMN Usai Danantara Terbentuk
Toto menjelaskan BPI Danantara akan menjadi badan eksekutif pengelolaan BUMN di Indonesia. Sementara Kementerian BUMN nantinya akan berfungsi sebagai pengawas Danantara.
Menteri BUMN secara ex officio akan memimpin dewan pengawas bersama perwakilan dari Kementerian Keuangan dan satu pejabat setingkat menteri yang akan ditunjuk Presiden.
“Sebagai pengawas, Kementerian BUMN akan diberikan selembar saham seri A,” ujar Toto yang merupakan direktur BUMN Research Group Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis itu.
Selembar saham seri A ini, menurut Toto, memungkinkan Kementerian BUMN untuk mem-veto apabila ada aksi korporasi Danantara yang dianggap bertentangan dengan kepentingan strategis negara
BUMN-BUMN yang dinaungi BPI Danantara nantinya akan memegang saham seri B sehingga posisinya di bawah Kementerian BUMN.
Tujuh perusahaan BUMN dilaporkan akan dikonsolidasikan dengan Danantara yakni PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT PLN, PT Pertamina, PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Telkom Indonesia Tbk, dan holding pertambangan PT Mineral Industri Indonesia Persero (Mind Id).
Linimasa Danantara
Beberapa media menyebut ekonom Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo Subianto, konon pernah mengusulkan konsep pengelolaan aset seperti Danantara.
“Namun klaim bahwa ide tersebut ditolak pada masa Orba dan kemudian diterapkan oleh Malaysia belum memiliki bukti sejarah yang kuat dan cenderung bersifat spekulatif,” ujar Ariyo peneliti Indef.
Ariyo menilai pembentukan Danantara lebih merupakan respon terhadap kebutuhan modern untuk mengkonsolidasikan dan mengelola aset pemerintah secara profesional dan transparan.
Toto menyebut ide besar restrukturisasi BUMN, termasuk pembentukan holding company, sudah ada sejak era kepemimpinan Presiden BJ Habibie.
Pada masa kepemimpinan Presiden Jokowi yang pertama, kebijakan pembentukan beberapa holding company dilakukan Menteri BUMN Rini Soemarno di akhir masa baktinya.
Kemudian pada pemerintahan Jokowi jilid kedua, pembentukan holding company menjadi semakin diperbanyak dengan Erick Thohir sebagai Menteri BUMN.
Sekarang ini, pemerintahan Prabowo saat ini menilai perlu ada perusahaan super holding sebagai rumah induk setelah BUMN-BUMN sekarang relatif tertata.
Danantara Beresiko Deal Politik?
Keterlibatan tokoh-tokoh yang memiliki hubungan dekat dengan kekuasaan dalam BPI Danantara dapat menimbulkan intervensi dalam pengambilan keputusan investasi.
Diungkap peneliti Indef, Aryo, apabila pejabat atau anggota dewan pengawas dalam Danantara memiliki afiliasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan, maka keputusan investasi bisa saja lebih menguntungkan pihak tertentu daripada kepentingan nasional secara keseluruhan.
“Konflik kepentingan ini harus dikelola dengan kebijakan yang tegas dan transparan,” ujarnya.
Ariyo merujuk ke pemberitaan yang menyebut sejumlah nama yang diberitakan akan bergabung dalam kepengurusan Danantara seperti Rosan P Roeslani, yang pernah menjadi Ketua Tim Kampanye Prabowo-Gibran.
Selain itu, nama Pandu Sjahrir, keponakan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, yang juga sempat menjadi wakil bendahara TKN Prabowo-Gibran.
“Ini memunculkan kekhawatiran karena mereka memiliki pengalaman dan jaringan yang dekat dengan lingkup kekuasaan,” ujar Ariyo.
“Memang, dalam pengelolaan aset negara, keberadaan figur yang memiliki relasi politik dan birokrasi bukanlah hal yang baru. Namun, yang paling krusial adalah seberapa kuat mekanisme tata kelola dan sistem pengawasan yang diterapkan,” dia menandasi.