Mahkamah Konstitusi Keluhkan Kinerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Konotasi–Mahkamah Konstitusi (MK) mempertanyakan sejauh mana pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) aktif dalam menyerap aspirasi secara mandiri.
MK juga mengeluhkan masalah transparansi yang lamban dalam memenuhi permintaan dokumen pembuktian partisipasi masyarakat.
Hal ini terungkap dalam sidang pengujian formil terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE).
Dalam uji formil tersebut, Wakil Ketua MK Saldi Isra menyoroti lemahnya transparansi dan minimnya bukti partisipasi publik dalam proses pembentukannya.
Selain itu, Saldi mengeluhkan masalah transparansi yang lamban dalam memenuhi permintaan dokumen pembuktian partisipasi masyarakat yang diminta MK.
“Susahnya pemerintah ini, kita minta dilengkapi, ditambah-tambahkan, rupanya sudah selesai saja (undang-undangnya),” keluh Saldi, Senin (5/5/2025).
Saldi menekankan pentingnya dokumen bukti partisipasi—seperti laporan kegiatan, makalah, atau risalah diskusi—untuk menilai apakah keterlibatan publik benar-benar terjadi.
“Dari semua rangkaian itu, cuma dua kali kegiatan yang terbuka dari 20 rapat. Kami perlu dokumen yang bisa menunjukkan partisipasi itu benar-benar ada,” tegasnya.
Sementara itu, Hakim MK Arief Hidayat juga mempertanyakan sejauh mana pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) aktif dalam menyerap aspirasi secara mandiri.
“Untuk proses yang terjadi di DPR, pemerintah juga melakukan penyerapan aspirasi, kan?,” ujar Arief.
Menanggapi hal tersebut, Dirjen KSDAE KLHK, Satyawan Pudyatmoko, menyatakan bahwa pemerintah mengikuti proses yang digelar oleh DPR, termasuk FGD dengan akademisi dan pemerhati konservasi.
Namun, ia mengakui bahwa partisipasi publik yang dilakukan kementerian lebih bersifat informal dan tidak melalui forum resmi yang terdokumentasi secara menyeluruh.
“Kita mengikuti agenda yang diselenggarakan oleh DPR. Mulai dari tahap awal, melakukan FGD dengan beberapa universitas, terutama yang memiliki Fakultas Kehutanan, Biologi, atau Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati yang lain,” jelas Satyawan.
Hakim MK Asrul Sani menambahkan bahwa dalam praktik umum, penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) seharusnya juga melibatkan publik secara langsung, bukan hanya antarinstansi.
Ia mempertanyakan apakah dalam proses itu ada pelibatan masyarakat sipil secara konkret di luar lingkaran kementerian.
“Karena partisipasi publik itu kan tidak terbatas hanya melalui rapat-rapat formal saja atau diskusi-diskusi. Nah, ada nggak waktu penyusunan itu di luar yang internal Kementerian Lembaga, baik akademisi atau katakanlah kalangan masyarakat sipil?,” tanya Asrul Sani.
Satyawan mengonfirmasi bahwa terdapat pertemuan dan diskusi yang dilakukan secara terbuka di Manggala Wanabakti dan akan mencari arsip undangan sebagai bukti.
“Sebenarnya ada beberapa kali pertemuan yang diinisiasi oleh Ibu Menteri LHK pada waktu itu untuk menyerap aspirasi dari akademisi dan juga para pemerhati konservasi. Nah, waktu itu saya masih berperan sebagai akademisi, jadi diundang untuk diskusi tersebut. Saya kira masih ada catatanya, ya,” tegas dia.
Sebagai informasi, Permohonan Perkara Nomor 132/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh AMAN, Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dan seorang petani bernama Mikael Ane.
Para pemohon melakukan pengujian formal terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya atau UU 32/2024.
Dalam persidangan perdana sebelumnya, dikatakan bahwa pembentukan UU 32/2024 tidaklah berdaya guna bagi masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai subyek hukum dalam pemberlakuan UU 32/2024.
UU 32/2024 dinilai membuka lebih banyak celah terjadinya potensi kriminalisasi, perampasan hak, diskriminasi, dan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi.
Oleh karenanya, para pemohon memohon agar MK menyatakan bahwa UU 32/2024 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan meminta agar MK memberlakukan kembali UU 5/1990 serta Pasal 33 dan Pasal 69 huruf c UU 17/2019 tentang Sumber Daya Air.