Masa Depan Pulau Labengki Sultra Dipertaruhkan, Ada Apa?

Konotasi–Di Pulau Labengki, Sulawesi Tenggara, warga Bajau khususnya anak-anak bermain di laut setiap pagi dan sore. Mereka melompat dari dermaga ke air yang jernih dan menyelam ke dasar laut yang berpasir putih.
Namun mirisnya, entah sampai kapan kegembiraan mereka akan bertahan. Pasalnya, pemandangan bawah laut Pulau Labengki kini tidak selalu jernih, pada beberapa kondisi keruh akibat limbah dari tambang nikel.
Walaupun kawasan pulau yang dihuni oleh orang-orang Bajau ini bebas dari aktivitas tambang, tetapi Pulau Labengki berseberangan dengan kawasan pertambangan nikel Kabupaten Konawe Utara. Dimana terdapat sekitar 50 perusahaan tambang nikel yang beroperasi.
Ada kekhawatiran limbah tambang nikel akhirnya akan seluruhnya memasuki perairan dan selamanya mencemari Pulau Labengki.
“Karena pencemaran nikel saat musim hujan bisa masuk ke daerah wisata ke Labengki sini. Terbawa arus dia,” kata Tawing pemilik Homestay di Labengki dikutip Konotasi dari BBC, Kamis (13/3/2025).
Diketahui, Indonesia adalah negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia.
Badan Energi Internasional memprediksi peningkatan produksi nikel dunia mencapai sedikitnya 65% pada 2030, didorong oleh kebutuhan material baterai kendaraan listrik.
Bahkan Indonesia diperkirakan bakal memenuhi dua-pertiga kebutuhan dunia. Sejauh ini, Indonesia sudah menandatangani sejumlah kontrak bernilai miliaran dolar AS dengan perusahaan-perusahaan asing yang berniat berinvestasi pada tambang nikel serta tempat pengolahannya.
Namun, dari beberapa informasi dihimpun Konotasi, pengamat menilai masalah lingkungan di kawasan tambang, baik nikel maupun lainnya, masih menjadi pekerjaan rumah di dalam negeri.
Pemerintah Indonesia bukannya tidak tahu soal itu. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui bahwa pencemaran lingkungan akibat tambang telah menjadi perhatian pemerintah.
Labengki Bebas Tambang, Tapi Terjerat Limbah
Orang Bajau terkenal sebagai penyelam ulung. Mereka bisa menyelam di laut tanpa alat bantu pernapasan. Anak-anak Bajau pun sudah akrab dengan laut sejak kecil.
Tawing pemilik Homestay di Labengki mengungkapkan, aktivitas perekenomian terancam dengan masalah.
Tawing sendiri yang merupakan pemandu selam turis yang berkunjung di Labengki. Ia memiliki sertifikasi selam scuba sehingga ia bisa memandu turis menikmati keindahan bawah laut Pulau Labengki.
“Tahun lalu, saya bawa tamu untuk menyelam di Labengki saat laut tercemar limbah tambang, tingkat pandangan di dalam air itu benar-benar buruk,” kata Tawing.
Dia menambahkan betapa susahnya mencari tempat yang jernih untuk diselami.
Saat musim hujan tiba, dia berkata, limbah dari area pertambangan nikel terbawa arus ke perairan Pulau Labengki. Jika air sedang keruh, lanjut Tawing, terpaksa urung membawa turis menyelam.
Sehingga, tidak hanya penghasilannya yang hilang tapi juga pemasukan untuk masyarakat Labengki lainnya.
Hidup yang Menyatu dengan Tambang
Sementara itu, di Desa Boenaga, yang terpisah jarak sekitar satu jam berkendara dengan kapal, kondisinya begitu berbeda dari Pulau Labenki.
Hal itu diungkapkan oleh nelayan Bajau, Lukman. Ia mengatakan, sebelum ada kegiatan tambang nikel di desanya, ia biasa memancing ikan di dekat rumah.
Di dermaga, dasar laut, kata Lukman tidak terlihat karena air begitu keruh. Bahkan di sebagian tempat di desa, air berwarna cokelat kemerahan.
Diketahui, Sulawesi Tenggara memiliki Izin Usaha Pertambangan nikel terbanyak di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2022, terdapat sedikitnya 50 perusahaan tambang nikel di Kabupaten Konawe Utara.
“Kalau nelayan sih susah sekali sekarang hidupnya,” kata Lukman dikutip, Kamis (13/3).
Senada dengan itu, istri Lukman, Sukayah berkata kini nelayan harus menempuh jarak yang jauh untuk menangkap ikan agar bisa bebas dari perairan tercemar.
Daratan Banjir, Eh Laut Kena Imbas
Data pemerintah menunjukkan terjadi setidaknya 21 banjir dan longsor di Sulawesi Tenggara sepanjang 2022. Padahal, antara 2005 dan 2008, sebelum izin sejumlah tambang diberikan, hanya terjadi dua hingga tiga insiden serupa per tahun, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Sekedar diketahui, Untuk bisa menambang nikel, perusahaan-perusahaan tambang harus membersihkan suatu kawasan besar dengan menebang semua pohon di sana. Selanjutnya lubang besar akan digali atau yang biasa disebut open pit.
Pegiat lingkungan, Habib Nadjar Buduha mengatakan, khawatir akan laju kerusakan akibat aktivitas tambang menemukan bahwa sedimentasi lumpur nikel mengalir ke laut dan mengubur terumbu karang.
“Siapa mau tanggung ini kerusakan terumbu karang sekian hektare, sekian mil,” katanya dikutip BBC.
Ia mengambil sampel kerusakan terumbu karang akibat sedimentasi tambang di sebuah titik di Pulau Bahubulu, Konawe Utara, lima kilometer dari garis terluar.
Menurutnya sampel gambar yang ia ambil mencerminkan kondisi bawah laut Konawe Utara di sekitar kawasan tambang.
Bagi Habib, nilai kompensasi perusahaan tambang tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang bisa jadi tidak dapat dipulihkan.
“Tidak cukup dengan, ‘Oh kami sudah beri mereka uang debu, uang kompensasi’. Berapa uang kompensasi? Tetapi sekarang yang kamu rusak masa depannya,” kata Habib.
*Tambang Nikel Cemari Lingkungan, Ini Penyebabnya*
Menurut staf khusus menteri ESDM bidang percepatan tata kelola mineral dan batubara, Professor Irwandy Arif, perusahaan-perusahaan tambang nikel seharusnya telah memiliki sistem dan teknologi mumpuni dalam pengolahan limbah untuk mencegah pencemaran.
“Mungkin kalau hujan, bagaimanapun tanah akan tererosi oleh air dan tidak bisa dikontrol,” kata Prof Irwandy.
“Tapi kalau perusahaan-perusahaan yang legal, sudah dihimbau untuk memiliki sistem penanganan air sebelum dibuang ke laut,” sambungnya.
Selain itu, menurutnya perencanaan dan kewajiban perusahaan-perusahaan tambang telah tercakup dalam dokumen AMDAL atau Analis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup perusahaan.
Sementara itu, Juru Kampanye Trend Asia, Novita Indri mengungkapkan, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya.
“Karena kebanyakan di Indonesia, sistem pertambangan kita masih sistem terbuka atau open pit. Di mana tanah permukaan akan dikeruk bagian atasnya hingga sampai di lapisan di mana mineral itu berada,” kata Novita dikutip (13/3).
“Ketika ada air cokelat di daerah pertambangan, kita bisa berasumsi ada indikasi pencemaran baik secara langsung maupun tidak langsung,” lanjutnya
Menurutnya, kesuksesan Indonesia pada industri nikel bergantung pada pembenahan yang dapat dilakukan oleh pemerintah di lapangan.
“Karena Indonesia masih punya track record pertambangan yang masih belum baik. Standar lingkungan masih buruk,” jelasnya.
*Pulau Labengki Bertaruh Nasib*
Salah satu titik selam di Labengki bernama Kimaboe terdapat sekitar 19 kerang raksasa dengan ukuran beragam. Jenis tertentu kerang ini dapat tumbuh sepanjang lebih dari satu meter.
Kerang raksasa yang disebut kima oleh warga lokal memiliki peran penting di lautan yakni sebagai filter polutan.
Namun, dari beberapa sumber yang diperoleh Konotasi, kima tidak akan bisa menyaring limbah tambang nikel lantaran limbah nikel itu merupakan sedimen yang akan mengubur kerang raksasa.
“Kami sudah memikirkan itu. Jangan sampai yang kita khawatirkan itu terjadi,” kata Tawing menandasi.