Mengenal Puncak Cartenz: Pelajaran Pendakian yang Penuh Resiko

Konotasi–Pendakian ke Puncak Cartenz, salah satu gunung tertinggi di Indonesia, sering kali menjadi impian para pendaki. Namun, di balik keindahannya, gunung itu menyimpan tantangan ekstrem yang bisa berujung pada tragedi.
Beberapa kasus kematian pendaki di Cartenz disebabkan faktor cuaca buruk, hipotermia, dan kurangnya persiapan yang matang.
Salah satu insiden yang mengguncang dunia pendakian baru-baru ini adalah meninggalnya dua sahabat pendaki kawakan asal Jakarta karena hipotermia setelah terjebak badai di ketinggian.
Tragedi di Cartenz menjadi pengingat bahwa keberhasilan ekspedisi tidak hanya bergantung pada kekuatan fisik pendaki, tetapi juga pada kesiapan tim, pemantauan cuaca, serta kualitas perlengkapan yang digunakan.
Medan Ekstrem
Dibandingkan dengan Pegunungan Himalaya di Nepal, Cartenz bukanlah gunung wisata biasa, melainkan gunung dengan tingkat kesulitan tinggi yang membutuhkan tim pendukung yang solid. Setelah melewati Cartenz Ridge, pendaki harus menghadapi medan rock climbing yang cukup ekstrem.
Justru karena bukan gunung wisata, sering kali ada kecenderungan untuk mengabaikan standar keselamatan yang ketat.
Padahal, Cartenz merupakan salah satu gunung yang dibutuhkan keahlian tingkat tinggi untuk mencapai puncaknya. Medan berbatu keras (hard rock surface) membuat pendakian makin menantang, memerlukan keterampilan memanjat yang baik, serta faktor ketinggian yang tetap menjadi tantangan tersendiri.
Dibandingkan dengan gunung lain seperti Everest atau Karakoram (K2), sulit untuk membuat perbandingan langsung. K2 lebih sulit karena faktor ketinggian dan perubahan cuaca yang sangat cepat, sedangkan Cartenz memiliki tantangan utama berupa medan solid rock yang membutuhkan keterampilan teknis dalam pendakian.
Peran Guide
Kualifikasi seorang guide juga sangat menentukan keberhasilan ekspedisi. Kondisi fisik, pengalaman, keterampilan, dan pengetahuan tentang medan menjadi faktor penting dalam mendukung keselamatan pendaki.
Salah satu kemungkinan mengapa dalam ekspedisi di Cartenz ada kendala adalah gunung itu jarang didaki sehingga porter dan guide mungkin memiliki jam terbang yang terbatas di medan itu.
Namun, dalam kasus pendaki yang meninggal dunia gegara hipotermia, tidak serta-merta guide atau porter bisa disalahkan.
Hipotermia bisa terjadi karena berbagai faktor yang berhubungan dengan persiapan pendaki sendiri.
Urutan yang harus diperhatikan dalam ekspedisi mencakup bagaimana persiapan dilakukan, apakah tim sudah mengenal medan dengan baik, berapa lama aklimatisasi dilakukan di lokasi, bagaimana kondisi fisik pendaki sebelum memulai pendakian, serta apakah perlengkapan yang digunakan sudah sesuai dengan kondisi ekstrem.
Jika dalam satu ekspedisi ada banyak tim yang selamat, pasti ada penyebab yang membedakan kondisi tim yang mengalami masalah. Bisa jadi mereka terpisah dari rombongan utama, ada yang turun lebih dahulu, atau memang kondisi fisiknya sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendakian.
Dalam ekspedisi yang memiliki standar keselamatan tinggi, harus ada team leader yang mengatur jalannya perjalanan. Team leader bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan terkait kapan harus terus mendaki, kapan harus berhenti, serta bagaimana strategi keselamatan diterapkan di sepanjang perjalanan.
Resiko Hipotermia
Salah satu risiko terbesar dalam ekspedisi adalah hipotermia (hipo) yang sering kali terjadi akibat cuaca buruk. Kematian karena hipotermia sangat masuk akal, terutama jika persiapan tidak memadai.
Hipotermia adalah kondisi ketika suhu tubuh turun di bawah 35 derajat Celsius, mengakibatkan gangguan fungsi organ dan bisa berakibat fatal.
Penyebabnya, antara lain, paparan cuaca dingin tanpa perlindungan yang cukup, terendam dalam air dingin, kehilangan panas tubuh berlebihan akibat pakaian basah, serta kondisi medis seperti gangguan tiroid, diabetes, atau efek alkohol dan obat-obatan.
Namun, di Cartenz, seharusnya serangan hipo tidak terlalu parah karena ketinggiannya tidak mencapai 5.000 mdpl. Tekanan udara dan ketinggian sangat berpengaruh terhadap tingkat keparahan serangan hipotermia.
Pada ketinggian di bawah 5.000 mdpl, dampaknya biasanya lebih ringan bila dibandingkan dengan ekspedisi di ketinggian 7.000–8.000 mdpl. Faktor aklimatisasi yang kurang juga bisa menjadi penyebab meningkatnya risiko hipotermia.
Hipotermia bisa diatasi jika pada ketinggian sekitar 4.500 mdpl tersedia peralatan termal yang memadai. Dalam banyak kasus, pendaki yang tewas lebih disebabkan kondisi fisik yang menurun drastis sehingga lebih rentan terkena hipotermia.
Tekanan udara dan ketinggian berpengaruh terhadap kondisi fisik seseorang yang berakibat pada daya tahan tubuh terhadap hipo.
Peralatan Memadai
Selain faktor fisik dan aklimatisasi, peralatan yang digunakan dalam ekspedisi juga sangat menentukan keselamatan pendaki. Peralatan yang kurang memadai dapat meningkatkan risiko hipotermia, cedera, dan kegagalan ekspedisi.
Beberapa perlengkapan yang harus diperhatikan meliputi pakaian termal yang mampu menjaga suhu tubuh tetap stabil, sepatu khusus pendakian yang tahan terhadap cuaca ekstrem, serta sarung tangan dan topi yang melindungi dari suhu dingin ekstrem. Sleeping bag dengan spesifikasi tahan suhu rendah juga sangat penting untuk menjaga kenyamanan dan keselamatan saat beristirahat
Selain itu, peralatan climbing seperti harness, carabiner, dan tali yang sesuai standar keamanan harus dipastikan dalam kondisi baik agar dapat digunakan dengan optimal selama pendakian. Jika perlengkapan tidak sesuai standar, pendaki akan lebih mudah mengalami kelelahan, kedinginan, dan kehilangan daya tahan tubuh dalam kondisi ekstrem.
Support Team
Dalam setiap ekspedisi, tim support menjadi elemen penting yang menentukan keberhasilan perjalanan. Mereka tidak hanya bertanggung jawab dalam hal logistik, tetapi juga memastikan keamanan dan kelancaran perjalanan, termasuk memantau kondisi cuaca.
Jika ekspedisi mengalami kendala akibat cuaca buruk, itu bisa menjadi indikasi bahwa perencanaan tim support dan persiapan yang dilakukan belum optimal.
Tim support memiliki tugas yang luas, mulai pengaturan perjalanan, pemenuhan kebutuhan logistik, hingga analisis dan pemantauan cuaca.
Dalam ekspedisi besar seperti di Himalaya, tidak semua perjalanan memerlukan ekspedisi lengkap. Namun, di tempat ekstrem seperti Cartenz, kehadiran tim support menjadi kebutuhan mutlak.
Dalam pendakian modern, cuaca dapat dipantau denhan menggunakan satelit atau peralatan milik BMKG. Keputusan untuk terus mendaki atau turun harus berdasar data itu. Gunung di atas 4.500 mdpl memiliki cuaca yang cepat berubah sehingga tim support harus memastikan pemantauan dilakukan dengan baik.
Padahal, di wilayah seperti Cartenz, terdapat fasilitas pemantauan cuaca milik Freeport yang bisa digunakan untuk koordinasi. Tim support bisa bekerja sama dengan Freeport atau BMKG untuk mengakses laporan cuaca secara real-time.
Oleh karena itu, dalam setiap ekspedisi, penting untuk memastikan bahwa tim support telah dipersiapkan dengan baik. Evaluasi berkala, perencanaan matang, pemantauan cuaca berbasis teknologi, serta koordinasi dengan pihak yang memiliki akses terhadap data cuaca menjadi bagian dari strategi mereka.
Dengan begitu, ekspedisi dapat berlangsung dengan lebih aman dan sukses tanpa kendala yang berarti.