Presidential Threshold Dihapus MK: Fair atau Fear?

Penulis: Sultan
Konotasi–Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus presidential threshold adalah momen yang mengguncang lanskap politik Indonesia. Keputusan ini memantik diskusi yang meluas: Apakah ini sebuah langkah untuk memperjuangkan keadilan politik (fair), atau justru menjadi pintu menuju ketidakpastian yang menakutkan (fear)?
Sejak diterapkan, presidential threshold yang mengharuskan partai atau koalisi partai memiliki ambang batas tertentu untuk mencalonkan presiden telah menjadi topik sentral yang sarat kontroversi. Pendukung aturan ini sering berargumen bahwa threshold diperlukan untuk menjaga stabilitas politik dan mencegah terlalu banyak calon yang dapat memecah suara rakyat. Namun, bagi para pengkritiknya, aturan ini adalah penghalang demokrasi, alat oligarki untuk mempersempit kompetisi, serta cara untuk mempertahankan dominasi partai besar.
Kini, dengan dihapusnya threshold ini, pertanyaan mendasar muncul: Apakah kita sedang membuka jalan menuju politik yang lebih adil dan inklusif, atau malah ke jurang fragmentasi dan ketidakstabilan?
Fair: Menyambut Keadilan Politik
Bagi banyak pihak, penghapusan presidential threshold adalah kemenangan demokrasi. Tanpa ambang batas, setiap partai, terlepas dari besar atau kecil, memiliki hak yang sama untuk mencalonkan kandidat presiden. Langkah ini dianggap fair karena mencerminkan esensi demokrasi, semua suara memiliki nilai yang setara, dan semua partai memiliki kesempatan yang sama untuk menawarkan pemimpin.
Lebih banyak calon berarti lebih banyak pilihan bagi rakyat. Ini memberi peluang munculnya figur-figur baru yang tidak terjebak dalam pusaran oligarki atau kalkulasi pragmatisme koalisi. Dengan demikian, rakyat dapat memilih pemimpin berdasarkan visi dan kompetensinya, bukan sekadar karena terbatasnya pilihan.
Penghapusan threshold ini juga dapat memecah dominasi partai besar, menciptakan ruang bagi ide-ide segar dan inovatif dalam politik nasional.
Fear: Ancaman Fragmentasi dan Ketidakstabilan
Namun, di sisi lain, penghapusan threshold membawa risiko besar yang tidak bisa diabaikan. Tanpa ambang batas, jumlah calon presiden bisa membengkak secara signifikan, memecah suara pemilih hingga menghasilkan pemenang dengan legitimasi politik yang minim. Dalam situasi ini, presiden terpilih mungkin kesulitan membangun dukungan mayoritas di parlemen, yang pada akhirnya dapat menghambat stabilitas pemerintahan.
Lebih jauh, fragmentasi politik ini bisa dimanfaatkan oleh kekuatan politik yang tidak bertanggung jawab untuk memperkeruh suasana. Politisasi identitas, politik uang, dan manuver elit menjadi ancaman yang nyata di tengah persaingan yang semakin sengit. Apakah rakyat siap untuk menyaring dan memilih secara bijak di tengah derasnya arus kandidat dan janji-janji politik?
Fair atau Fear: Jalan Tengah?
Jawaban atas dilema ini tergantung pada bagaimana sistem politik dikelola pasca-putusan MK.
Penghapusan presidential threshold harus diiringi dengan reformasi menyeluruh, mulai dari penguatan sistem pemilu, peningkatan transparansi pendanaan partai, hingga pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik politik uang.
Selain itu, pendidikan politik bagi masyarakat menjadi kunci agar rakyat mampu memilih berdasarkan kualitas, bukan sekadar popularitas atau sentimen emosional.
Di atas segalanya, penghapusan threshold ini adalah peluang untuk menguji kedewasaan demokrasi Indonesia. Apakah kita mampu menghadapi tantangan baru ini dengan bijaksana, ataukah kita akan terjebak dalam dinamika politik yang tidak produktif?
Pada akhirnya, apakah ini fair atau fear tidak semata ditentukan oleh keputusan MK, tetapi oleh bagaimana semua aktor politik dari partai hingga rakyat memanfaatkan perubahan ini. Jika dikelola dengan baik, ini bisa menjadi langkah besar menuju demokrasi yang lebih sehat. Namun jika diabaikan, kekhawatiran akan fragmentasi politik dan instabilitas bisa menjadi kenyataan. Babak baru ini mengajarkan kita satu hal penting bahwa demokrasi bukanlah hadiah, melainkan tanggung jawab bersama.