Proyek Strategis Nasional: Bom Waktu Warga Merauke di Masa Depan

Konotasi–Kelompok yang menamai diri Solidaritas Merauke menyatakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang telah dan masih berlangsung telah merusak ruang hidup mereka sekaligus menjadi biang keladi atas kerusakan lingkungan dan kekerasan terhadap masyarakat adat.
“Malapetaka ini patut disebut sebagai keadaan darurat bagi keselamatan rakyat,” sebut pernyataan bersama dikutip Konotasi, Senin (17/3/2025).
Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan periode 2020-2024 telah terjadi 154 ledakan konflik akibat PSN. Konflik ini melibatkan satu juta hektar lahan, dan 103.000 keluarga menjadi korban.
Pemerintah melalui Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, mengeklaim akan menjadikan protes ini masukan dan kritik terhadap pemerintah. Namun, kementeriannya tak bisa mengambil sikap untuk menghentikan PSN.
Peneliti isu Papua menilai proyek PSN yang serampangan sebagai bom waktu di masa depan.
Di lapangan, korban PSN mengaku menghadapi dampak banjir, debu pembangunan, penyerobotan lahan, tekanan dan kekerasan.
“Kami kembali dari sana (Jakarta), untuk saya memang tidak ada perubahan, malah penekanan-penekanan untuk saya lebih banyak lagi,” kata Vincen salah satu warga Merauke, dikutip dari BBC.
Pada 17 Oktober 2024, Vincen dan sejumlah masyarakat adat Papua Selatan berunjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta. Mereka menolak PSN berupa cetak sawah dan perkebunan tebu di Merauke karena alam kami sudah rusak, habis.
Kendati demikian, tuntutan kepada pemerintah pusat agar proyek ini dihentikan tak berbuah hasil. Di kampungnya, ketua Marga Kwipalo dari Suku Yei sudah bingung ingin mengadu ke mana lagi.
“Ke mana lagi kita harus cari perlindungan? Ke mana lagi?,” kata Vincen bertanya-tanya.
Di sisi lain, Kementerian Pertahanan mendapat izin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Juli 2024 untuk menggunakan kawasan hutan seluas 13.450 hektar. Ratusan eksavator yang dikawal militer sudah membongkar lahan dan kawasan hutan di Distrik Wanam.
Pusaka melaporkan target pemerintah mencetak sawah dan perkebunan tebu di Merauke seluas 2,2 juta hektare akan berdampak terhadap 16 distrik (kecamatan). Kebanyakan hutan adat menjadi sasaran pembukaan lahan baru. Jumlah ini belum termasuk proyek perkebunan sawit non-PSN.
Menteri Koordinator bidang Pangan, Zulkifli Hasan atau Zulhas mengatakan pembukaan lahan di Merauke dapat mencapai tiga juta hektare, masing-masing untuk cetak sawah 2 juta hektare dan perkebunan tebu 1 juta hektare. Luas lahan ini setara dengan lima kali Pulau Bali atau 45 kali luas daratan Jakarta.
Proyek ini ditargetkan selesai dalam jangka waktu lima hingga tujuh tahun ke depan. Rencana ini masuk dalam apa yang disebut program “Swasembada Pangan” yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.
“Kalau kita mau swasembada (pangan), presiden perintahkan menterinya termasuk swasembada energi yang mendasar, tentu ini memerlukan buka lahan baru,” kata Zulhas di penghujung Desember 2024.
PSN adalah proyek atau program yang dilaksanakan instansi pemerintah atau badan usaha, yang bersifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.
Contoh proyeknya adalah ketahanan pangan, pelabuhan, pembangkit listrik, kawasan ekonomi khusus, pertambangan, pabrik pemurnian, bendungan, kereta api, bandar udara, kesehatan, telekomunikasi dan lain-lain.
PSN digagas sejak Joko Widodo duduk di kursi RI-1 pada 2014 silam. Pada periode 2016–Februari 2024 sebanyak 195 PSN selesai dan sudah beroperasi dengan nilai investasi Rp1.519 triliun. Proyek ini diklaim menciptakan banyak lapangan pekerjaan baru.
Berdasarkan RPJMN 2025–2029, terdapat 77 PSN yang sudah ditetapkan. Sebanyak 48 PSN merupakan lanjutan, dan 29 PSN baru.
Proyek ini tersebar dari Aceh sampai Papua meliputi proyek yang berkontribusi langsung pada terwujudnya swasembada pangan, swasembada energi, swasembada air, dan hilirisasi.
Alih-alih bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, beberapa proyek PSN yang telah beroperasi atau dalam tahap pembangunan menuai polemik hingga kemarahan dari masyarakat.
Komnas HAM menerima 114 aduan PSN pada periode 2020–2023. Dari laporan ini terdapat dugaan pelanggaran HAM terkait dengan penggusuran, kekerasan dalam penanganan aksi unjuk rasa, ketenagakerjaan, lingkungan, kebebasan berekspresi, dan kekerasan terhadap wartawan.
Sementara Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan terjadi 154 ledakan konflik akibat PSN periode 2020–2024. Konflik ini melibatkan satu juta hektar lahan, dan 103.000 keluarga menjadi korban.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengurai tiga modus operandi operasi PSN di lapangan, yaitu ancaman kekerasan atau intimidasi, kriminalisasi dan menciptakan konflik horizontal.
Sekjen KPA, Dewi Kartika menilai proyek PSN tidak sepadan dengan dampak yang ditimbulkan di lapangan. Kata dia, proyek-proyek ini lebih menguntungkan korporasi dibandingkan masyarakat. Ia menyinggung proyek PSN dengan dalih swasembada pangan.
“Karena (PSN) hendak menggantikan posisi petani, peternak, petambak garam, nelayan tradisional itu kepada perusahaan-perusahaan skala besar seperti food estate,” katanya.
Dewi menambahkan, semestinya pemerintah mengembangkan potensi ekonomi yang selama ini dikelola masyarakat adat, petani dan nelayan.
“Justru potensi ekonomi terbesar itu ada di tangan masyarakat… bukan di pengusaha atau investor-investor yang selama ini terus diberikan privilege dan beragam keistimewaan,” tutupnya.
*Bom Waktu Untuk Warga*
Peneliti senior Pusat Riset Kewilayahan BRIN, Cahyo Pamungkas, mendorong pemerintah mengevaluasi proyek PSN yang sudah berjalan dan sedang dirancang.
Sejauh ini ia melihat terdapat kendali terlalu besar dari pemerintah dan perusahaan terhadap tanah milik masyarakat yang digunakan untuk PSN, tanpa partisipasi bermakna. Ia mengatakan jika kondisinya dibiarkan terus menerus akan ada bom waktu meledak di masa depan.
“Lalu ini dibiarkan justru itu akan terjadi kekacauan bencana sosial-ekologis itu yang akan terjadi di masa depan. Tidak hanya di Merauke, tapi juga ada di Rempang, ada di Sumatra Utara, ada lagi di NTT,” kata Cahyo dikutip Konotasi, Senin (17/3).
Bencana ekologis dan sosial yang dimaksud adalah kerusakan lingkungan, banjir, kekeringan, kemudian kehilangan pangan masyarakat adat dan konflik antarwarga.
“Dan juga tidak menutup kemungkinan konflik vertikal juga. Apalagi di Papua. PSN itu ikut memperburuk konflik vertikal yang sudah ada antara Papua dan Jakarta,” tambah Cahyo.
Kembali lagi kepada Vincen Kwipalo. Ia menyadari, pertemuan ini bukan akhir dari perjuangan mempertahankan hutan adatnya untuk keberlangsungan hidup dan kehidupan anak dan cucunya kelak.
Lebih dari itu, suara-suara di pedalaman juga memahami hutan Papua berkontribusi sebagai paru-paru dunia.
“Mereka bilang harus menyelamatkan karena kita manusia salah satunya oksigen dunia ini Papua, sampai kapan pun saya bicara tanah, tidak boleh jatuh,” jelas Vincen.