Revisi UU TNI, ‘Flashback’ Masa Orde Baru?

Konotasi.co.id -

Konotasi–Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) diusulkan masuk Prolegnas Prioritas 2025 setelah muncul Surat Presiden RI Nomor R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025.

Pemerintah menargetkan revisi beleid tersebut bisa selesai sebelum masa reses DPR RI atau sebelum libur Lebaran tahun ini. Adapun DPR akan memasuki masa reses mulai Jumat, 21 Maret 2025.

Revisi itu antara lain akan mengatur penambahan usia dinas keprajuritan serta memperluas keterlibatan militer aktif dalam jabatan-jabatan sipil.

Sejumlah organisasi hak asasi manusia yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkhawatirkan revisi tersebut akan mengacaukan tatanan demokrasi serta kembalinya militerisme dan Dwifungsi ABRI era Orde Baru yang menjadi trauma kolektif masyarakat Indonesia.

*Revisi UU TNI Kian Dikebut*

Pada Jumat 14 Maret, atau hampir satu bulan setelah surat presiden dirilis, Komisi I DPR RI menggelar rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (RUU TNI) bersama pemerintah.

Dalam susunan jadwal rapat yang diperoleh Konotasi, tertera bahwa jadwal acara konsinyering rapat Panja RUU TNI Komisi I DPR RI dengan pemerintah itu dilangsungkan di salah satu hotel bintang lima di kawasan Senayan, Jakarta, sejak Jumat (14/03) siang pukul 13.30 WIB.

Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, mengatakan pembahasan RUU TNI masih akan berlangsung hingga Minggu (16/03).

Anggota Panja akan ngebut jika ingin menyelesaikan pembahasan revisi sebelum anggota DPR ke masing-masing daerah pemilihan pada 21 Maret.

“Kami tidak ingin bertele-tele,” kata Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono, seperti dikutip Konotasi dari Kompas, Minggu (16/3/2025).

Merespons rapat tersebut, anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyampaikan protes dengan memasuki salah satu ruangan hotel—tempat rapat berlangsung, Sabtu (15/03). Mereka meminta pembahasan dilakukan secara terbuka.

“Pembahasan ini tidak sesuai karena diadakan tertutup,” ujar salah satu anggota koalisi, Andrie Yunus, yang juga merupakan Wakil Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) saat menerobos masuk ke ruang rapat panja.

Ia memandang pembahasan tertutup tersebut tidak sesuai dengan komitmen terhadap transparansi dan partisipasi publik.

Aspirasi itu disampaikan oleh tiga orang perwakilan koalisi yang mendadak memasuki ruang rapat panja, namun para perwakilan tersebut langsung ditarik ke luar ruang rapat oleh pihak pengamanan rapat.

Setelah ditarik ke luar ruang rapat, para perwakilan koalisi tetap menyerukan aspirasi mereka.

Andrie menilai RUU TNI mengandung berbagai pasal bermasalah yang mengancam demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia.

Selain itu, dia menilai, agenda revisi UU TNI berpotensi melemahkan profesionalisme militer dan bisa mengembalikan Dwifungsi TNI, sehingga militer aktif akan dapat menduduki berbagai jabatan sipil.

Menurutnya, perluasan penempatan TNI aktif pada jabatan sipil tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah, seperti menguatkan dominasi militer di ranah sipil dan pembuatan kebijakan serta loyalitas ganda.

*Tiga Pokok Penting Revisi UU TNI*

Ada tiga pasal yang akan menjadi sorotan dalam revisi UU ini, seperti disampaikan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin.

Pasal 3 mengatur soal kedudukan TNI yang berada di bawah presiden dalam perkara pengerahan dan pengunaan kekuatan dan militer; dan di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan dalam hal kebijakan dan strategi serta dukungan administrasi.

Pasal 47 Perluasan keterlibatan TNI dalam instansi sipil. Sebenarnya dalam Pasal 47 UU TNI, para prajurit TNI aktif bisa ditempatkan di 10 kementerian atau lembaga sipil. Namun, dalam draf revisi, instansi yang bisa mereka rambah bertambah lima, menjadi 15 institusi.

Pasal 53 terkait dengan perubahan batas usia pensiun. Sebagaimana dilaporkan Kompas.com, dalam draf revisi UU, usia pensiun perwira TNI paling tinggi 60 tahun. Sementara untuk bintara dan tamtama adalah 58 tahun.

*Jabatan Sipil Oleh Militer*

Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI TB Hasanuddin menjelaskan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pada awalnya terdapat 10 kementerian/lembaga yang bisa diduduki prajurit TNI aktif.

Kemudian, pada revisi Undang-Undang TNI, direncanakan terdapat penambahan sebanyak lima kementerian/lembaga dari ketentuan undang-undang sehingga menjadi 15 kementerian/lembaga

Lalu pada pembahasan Panja RUU TNI, sambung Hasanuddin, ada penambahan satu badan yang nantinya bisa diduduki prajurit TNI aktif, yakni Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Sehingga terdapat 16 kementerian/lembaga yang bisa ditempati prajurit TNI aktif.

Namun, apabila ada prajurit TNI aktif yang menduduki suatu jabatan di luar kementerian/lembaga tersebut, Hasanuddin menyampaikan bahwa prajurit TNI tersebut harus mengundurkan diri dari kedinasan.

“Jadi, yang sudah final sebanyak 16 kementerian/lembaga, di luar itu harus mundur,” tutur anggota DPR yang membidangi pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, serta intelijen tersebut.

*Apa itu Dwifungsi TNI*

Konsep ‘Dwifungsi’ TNI dapat ditelusuri dan ditautkan dengan pidato Jenderal Abdul Haris Nasution pada 11 November 1958 di Akademi Militer Magelang.

Dalam pidato itu Nasution mengungkapkan konsep ‘Jalan Tengah’ yang membuka jalan bagi TNI untuk berperan dalam bidang sosial dan politik—selain fungsi pertahanan dan keamanan.

Pada 1960, Nasution mulai memperkenalkan istilah ini dan diterima secara luas setelah Seminar Angkatan Darat pada 1965, seperti yang ditulis Bilveer Singh dalam bukunya Dwifungsi ABRI: Asal usul, Aktualisasi dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan (1996).

Tapi sebenarnya gagasan ‘Dwifungsi’ militer sudah ada jauh sebelum pidato Nasution.

Dalam buku The Army and Politics in Indonesia, Harold Crouch menyebutkan selama masa revolusi, rakyat memandang peran angkatan bersenjata penting, bahkan lebih penting dari peran kalangan politisi sipil, dalam mengejar tujuan bangsa yaitu kebebasan dan kemerdekaan.

Hal ini menyebabkan pimpinan militer merasa sudah ada sebelum republik dan berani mengeklaim bahwa mereka juga memiliki hak berpolitik dan peran sosial yang sama dengan kekuatan lain dalam masyarakat.

Meski begitu, ada perbedaan ‘Dwifungsi’ pada masa Revolusi dengan konsep ‘Jalan Tengah’ Nasution.

Pada masa revolusi kemerdekaan, orientasi dwifungsi militer lebih fokus pada upaya mempertahankan kemerdekaan dan menjaga integritas negara-bangsa yang belum lama lahir.

Berbeda halnya dengan praktik dwifungsi setelah diperkenalkannya konsep ‘Jalan Tengah’ Nasution yang secara ideologis membuka jalan bagi militer untuk berpolitik, mencampuri keamanan dalam negeri dan kehidupan sipil lainnya, seperti dipaparkan Arry Bainus dalam buku berjudul Mengatur Tentara (2012).

*Flashback dan Trauma Orde Baru*

Kepala Staf Angkatan Darat Maruli Simanjuntak mengatakan bahwa orang-orang yang terus mempersoalkan penempatan TNI dalam jabatan sipil justru memiliki agenda sendiri untuk menyerang institusinya.

Dia juga heran dengan munculnya anggapan bahwa penempatan TNI dalam jabatan sipil akan mengembalikan situasi seperti era Orde Baru.

“Menurut saya, otak-otak (pemikiran) seperti ini, kampungan menurut saya,” cetusnya.

Meski demikian, Direktur LSM Imparsial, Ardi Manto Adiputra, berpendapat masyarakat umum punya trauma atas militerisme dan penerapan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru.

Praktik Dwifungsi berdampak pada berkurangnya jatah warga sipil di bidang pemerintahan karena banyaknya anggota ABRI yang mendominasi pemerintahan.

Pada puncaknya, di era 1990-an, anggota ABRI memegang peranan kunci di sektor pemerintahan, mulai dari bupati, wali kota, pemerintah provinsi, duta besar, pimpinan perusahaan milik negara, peradilan, hingga menteri di kabinet Soeharto.

“Selama Orde Baru, Korem, Kodim, Koramil, dan Babinsa telah terlibat dalam politik praktis untuk menggalang kekuatan-kekuatan dalam pemilu, pencalonan bupati, camat atau kepala desa,” kata almarhum Letnan Jenderal Agus Wirahadikusumah (1951-2001) seperti dikutip Salim Said dalam bukunya Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia, 1958-2000 (2002).

“Tragedi Tanjung Priok itu kan salah satu protes masyarakat sipil yang direspons dengan cara militer oleh pemerintah,” kata Ardi.

Tragedi pada 1984 ini menyebabkan 23 orang meninggal dan dipicu bentrok warga dengan aparat Babinsa.

Babinsa atau Bintara Pembina Desa adalah prajurit Angkatan Darat yang bertugas di tingkat desa atau kelurahan yang secara struktural ada di bawah Komando Rayon Militer (Koramil) dan menjadi bagian dari Komando Distrik Militer (Kodim).

Saat ini, militer dilibatkan dalam pengamanan objek strategis nasional atau proyek strategis nasional.

“Dalam praktiknya kebijakan dan pendekatan keamanan itu sudah melahirkan berbagai praktik kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Ardi.

“Kita bisa lihat di daerah Papua dan Sulawesi misalnya. Beberapa proyek strategis nasional itu diamankan oleh prajurit TNI atau militer aktif. Ini contoh yang terjadi di era Reformasi saja,” tutupnya.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *